TULUNGAGUNG– Kasus kekerasan yang melibatkan perempuan dan anak pada tahun 2022 mencapai puluhan. Hingga Desember ini, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Satreskrim Polres Tulungagung mencatat ada 86 kasus. Dari jumlah tersebut, 30 persen pelaku merupakan anak-anak.
Kanit UPPA Satreskrim Polres Tulungagung Iptu Retno Pujiarsih mengatakan, anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) sesuai Undang-Undang (UU) Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012, yakni bisa pelaku, korban, dan saksi. Misalnya, kasus kekerasan terhadap anak, dia bisa menjadi korban dan pelaku. Lalu, pasal 81 dan 82 tentang Kekerasan Seksual atau pencabulan, itu bisa pelaku dan korban juga.
“Pasal 170 tentang pengeroyokan juga bisa, kadang kami juncto. Ketika penangkapan itu pelakunya anak-anak, tapi setelah diselidiki ada pelaku dewasa di belakangnya. Maka bisa di-juncto pasal 80 pasal 170, meskipun hukumannya tidak lebih 5 tahun tapi bisa ditahan,” jelas Retno, sapaan akrabnya.
Dia melanjutkan, anak-anak yang menjadi pelaku dalam kekerasan itu dipengaruhi lingkungan dan biasanya ikut-ikutan temannya yang dewasa. Apalagi, anak-anak berpikiran labil sehingga ketika ditangkap merasa menyesal. Bahkan, mereka tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya salah.
Namun, sesuai UU sistem peradilan anak, pelaku anak-anak harus diberi hukuman seminimal mungkin. Polisi hingga jaksa harus mencari pasal paling ringan bagi pelaku anak-anak. Namun, jika di tengah perjalanan ada penyelesaian kedua belah pihak, maka itu juga bisa dilakukan restorative justice. Namun, perkaranya harus tergolong ringan, seperti tidak menghilangkan nyawa orang atau menjadi pelaku narkotika berat.
“Bila pasal 80, 81, dan pasal 170 kedua belah pihak ada perdamaian, kami akan dukung mediasinya. Tapi, jika salah satu ingin perkara lanjut, ya dilanjutkan. Namun, kami anjurkan untuk restorative justice,” ungkapnya.
Untuk efek jera pada pelaku anak, kata Retno, di saat perkara tidak lanjut maka wajib lapor apda Senin dan Kamis. Selain itu, ketika restorative justice, pihaknya mengundang pemerintah desa (pemdes), sekolah, hingga orang tuanya sehingga mereka mengerti bahwa anak tersebut pernah berhadapan dengan hukum.
“Namun, kami beri pengertian bahwa penyelesaian damai hanya satu kali. Jika anak yang pernah menjadi pelaku pidana mengulangi tindakannya lagi, pihak kepolisian tidak berkenan menyelesaikan secara damai dan meneruskan berkas itu langsung ke kejaksaan,” pungkasnya.
Sementara itu, untuk kasus kekerasan lain di antaranya pasal 80 tentang Kekerasan Anak sebanyak 16 kasus, pasal 81 tentang Persetubuhan Anak sebanyak 16 kasus, serta pasal 82 Pencabulan Anak sebanyak 3 kasus. Pasal 289 pencabulan dewasa sebanyak 4 kasus, Pasal 286 disetubuhi ketika pingsan 1 kasus, dan pasal 296 ada 1 kasus.
“Untuk pasal 170 Pengeroyokan sebanyak 11 kasus dan pasal 44 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) sebanyak 22 kasus. Ada pasal ITE 1 kasus, pasal 351 sebanyak 3 kasus, pasal 284 sebanyak 2 kasus, dan pasal 285 terdapat 1 kasus. Sisanya masih pengaduan,” pungkasnya.(jar/c1/din)