TRENGGALEK – Edi Yuwantoro sudah menekuni seni jaranan selama puluhan tahun. Seni yang menyajikan tarian khas itu sampai kini tidak membuatnya berkantong tebal. Namun, Edi tak merasa keberatan, karena tujuannya semata-mata untuk nguri-uri budaya agar kesenian tarian jaranan tetap eksis dari generasi ke generasi.
TAK cuma segelintir, tapi ribuan mata terpana pada suatu pergelaran seni tarian jaranan Tresno Budoyo di Lapangan Dawuhan, Kecamatan Trenggalek, kemarin (10/5). Sebuah tontonan yang dianggap berisiko (dapat memunculkan klaster, Red) saat awal-awal pandemi Covid-19. Namun, pelonggaran oleh pemerintah memberikan angin segar bagi mereka yang haus hiburan.
Edi Yuwantoro mengibaratkan Covid-19 sebagai angin yang menerpa lilin. Selama hampir tiga tahun, pandemi menyebabkan kegiatan-kegiatan budaya yang berbau bisa mengundang kerumunan itu dilarang. Hal itu tentu berimbas terhadap eksistensi kesenian jaranan yang nyaris padam.
Bagi Edi, kesenian jaranan sudah mendarah daging. Bermula dari orang tuanya yang dulu juga pegiat kesenian jaranan. Darah itu merasuk hingga ke jiwanya sehingga Edi menjadi orang yang begitu mencintai kesenian jaranan pada khususnya.
Bahkan kini terhitung dirinya sudah 32 tahun berkecimpung di dunia kesenian jaranan. Lama waktu itu ternyata tidak membuat perekonomiannya masuk kategori menengah ke atas. “Kesenian jaranan ini hanya untuk kepuasan pribadi (hobi, Red). Berkegiatan seni jaranan itu tidak menguntungkan, karena pemasukan tidak cukup untuk membayar para pemain, jadi pemasukan akan dimasukkan ke kas,” ungkapnya.
Ayah dua anak itu hanya memimpikan jika kesenian tarian jaranan tetap ada, agar budaya asli tanah air itu bisa terus eksis walaupun di era milenial. Untuk itu, dia tak merasa keberatan jika kegiatan seninya tidak menghasilkan pundi-pundi rupiah. “Pekerjaan bertani kadang juga kuli,” kata pria brewok itu.
Edi sudah tidak muda lagi, tapi usia bukan batasan untuk berkesenian. Dengan telaten, Edi dan kuas riasnya melukis wajah setiap peserta jaranan. Tiap event setidaknya ada 40 wajah yang dirias. “Capek pasti, tapi saya menikmatinya,” ucap pria kelahiran 1974 tersebut.
Peran utama Edi memang perias jaranan. Peran itu tidak sepele, karena membutuhkan kejelian dan ketelatenan. Suatu hal yang bisa menyulitkan perias, yang tak lain adalah memunculkan karakter dan menyelaraskannya. “Tiap wajah itu punya karakter masing-masing, jadi bagaimana perias bisa memperkuat karakter tiap pemain,” ujar warga Desa Dawuhan, Kecamatan Trenggalek itu.
Edi adalah perias unik. Dia memakai kosmetik racikan sendiri. Kosmetik itu aman di kulit, karena berbahan alami, bukan kimia. Namun, Edi tidak bisa membeberkan rahasia kosmetik buatannya karena bahan-bahan kosmetik itu dari warisan keluarga. “Ada tiga warna, yakni hitam, merah, dan putih. Tapi kalau bedak masih pakai bedak pada umumnya,” ucapnya.
Menyinggung kegiatan seni yang mulai diperbolehkan, Edi berharap agar pandemi Covid-19 tetap melandai sehingga kegiatan kesenian terus bertahan. “Bisa kompak lagi dengan rekan-rekan pegiat budaya,” pungkasnya. (*/c1/rka)