KABUPATEN BLITAR – Setelah dua tahun terbelenggu Covid-19, kegiatan masyarakat mulai kembali normal. Bahkan, diperbolehkan membuka masker. Sebaliknya, kini giliran ternak yang harus menjalani pembatasan lantaran penyakit mulut dan kuku (PMK). Perlakuan untuk ternak ini nyaris sama saat musim korona. Selain vaksin, juga diberi vitamin untuk meningkatkan imunitas.
“Alhamdulilah untuk sementara ini belum ada kasus yang ditemukan di Blitar,” ujar seorang peternak sapi perah, Nurhenityastuti, kemarin (19/5).
Kendati begitu, kegelisahan tak dapat disembunyikan warga Kelurahan Tawangsari, Kecamatan Garum itu. Tampak jelas tanda kekhawatiran terhadap penyakit yang sebenarnya sudah beberapa kali menjangkit ternak ini.
Hal ini bisa dimaklumi. Penyakit pada ternak itu tidak hanya berpotensi penurunan produktivitas. Pada kasus yang lebih jauh, tidak menutup kemungkinan juga memicu kematian. Meskipun tingkat imortalitasnya relatif kecil.
Beberapa pekan terakhir, dia dan belasan peternak yang menjadi mitra atau binaanya sudah berjaga-jaga. Tidak lagi sembarangan membuka kandang ternak mereka untuk orang luar. Skrining ketat juga diperlakukan dalam mobilitas susu perah produksinya. “Kini kami lockdown. Kami juga buat pagar baru di sekitar kandang agar tidak sembarangan orang keluar masuk. Karena kan tahu sendiri penularan penyakitnya sangat cepat,” katanya.
Ibarat PPKM pada ternak, protokol ketat juga dilakukan. Sebagai salah satu mitra perusahaan besar dalam hal suplai produk susu perah, Heni dan para peternak lain mendapatkan pendampingan. Penyuluhan dari pemerintah juga beberapa kali diikuti. Karena itu, mereka sangat paham langkah apa saja yang harus dikerjakan sekarang.
Pemeriksaan ternak rutin dilakukan. Secara berkala juga dilakukan penyemprotan disinfektan. Tak hanya itu, setiap hari Heni dan para peternak di lingkungannya juga memberikan suplemen tambahan untuk meningkatkan imunitas ternak. Menurut dia, ini bagian dari ikhtiar menjaga agar sapi perah mereka bebas dari serangan PMK. “Kami juga suntikkan vaksin, selain itu beri jamu ke ternak seperti kunyit, temulawak, dan herbal lain,” tuturnya.
Selain produk susu, para peternak sapi perah juga sudah biasa menjual anakan ataupun mengganti indukan. Namun, Heni dan rekan- rekan peternak lain bersepakat untuk sementara ini tidak bisa dilakukan. Mereka sadar bahaya dan risiko jika ceroboh memasukkan atau berinteraksi dengan sapi-sapi di luar.
“Jadi kami memang puasa sementara, kalau biasanya bisa jual anakan, sementara stop dulu, meminimalisir mobilitas untuk memperkecil risiko penularan penyakit,” jelasnya.
Heni yang selama ini dipercaya sebagai penampung produk susu dari para peternak di lingkungannya juga berlaku lebih ekstra. Sebab, secara berkala dia juga harus mengirimkan produk susu ke pabrik. Meski terdapat protokol yang lumayan ketat, hal ini tidak menutup potensi penyebaran virus. Sebab, ada banyak peternak dari daerah lain yang juga berkepentingan di tempat tersebut. Karena alasan ini pula, pihaknya tidak bosan menyemprot petugas dan kendaraan saat keluar masuk area kandang.
Tak hanya penyakit, ada beberapa tantangan lain yang kini meresahkan peternak sapi perah. Itu adalah pakan. Konon hal ini dapat memengaruhi produktivitas ternak. “Kalau volumenya masih baik tidak ada penurunan, tapi kualitasnya yang sedikit berkurang,” ungkap Sulthon, peternak lain.
Hal ini terjadi karena faktor pakan. Selama ini, sebagian komponen pakan sapi perah tidak dapat diproduksi di tanah air. Dalam beberapa bulan terkahir terdapat kelangkaan bahan tersebut. Usut punya usut, ini tidak lain karena polemik dan perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. “Sebagian produk pakannya memang ada yang diimpor dari sana, sejak ada perang itu stoknya kurang dan berpengaruh pada kualitas,” katanya.
Selain itu, ada juga sebagian peternak yang memilih memanfaatkan jerami sebagai komponen pengganti dengan komposisi yang lebih besar. Tak pelak hal ini membawa dampak terhadap kualitas susu sapi. (*/c1/wen)