KABUPATEN BLITAR – Kabar kelangkaan pupuk bersubsidi yang dialami sebagian petani di Bumi Penataran, membuat Dinas Pertanian dan Pangan (Dispertapa) Kabupaten Blitar kebarakan jenggot. Dinas yang dinakhodai Wawan Widianto itu langsung membantah adanya kelangkaan.
Dispertapa punya alasan kuat terkait hal tersebut. Selama ini stok pupuk subsidi tetap ada. Namun, alokasinya tidak bisa memenuhi Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang sebelumnya diajukan kelompok petani.
Kepala Dispertapa Kabupaten Blitar Wawan Widianto, melalui Sekretaris Nevi Setyabudi Ningsih menyatakan, RDKK merupakan rencana kebutuhan sarana produksi pertanian yang diajukan petani. Sesuai aturan, rencana tersebut disampaikan ke pusat dan menyesuaikan dengan jumlah anggaran yang ada.
“Alokasi kurang dibanding dari rencana sehingga pupuk subsidi tadi kurang. Tidak langka. Kalau langka kan tidak ada sama sekali. Kalau kurang, barangnya ada, tapi kurang (merata),” ujarnya kemarin (22/3).
Nevi mencontohkan, untuk pupuk subsidi jenis NPK, tahun ini hanya teralokasikan 34 persen dari proposal RDKK. Artinya, persentase itu jauh dari kata cukup. Persoalan tersebut juga tak ubahnya seperti tahun lalu. Sebab, tiap tahun alokasi pupuk subsidi selalu kurang dari usulan RDKK.
Padahal usulan itu berdasarkan rekomendasi dari balai penelitian dan bukan mengacu soal kebutuhan. Karena itu, apabila alokasi menyesuaikan dengan kebutuhan petani, jumlahnya bakal berlebihan. “Contohnya urea. Petani kadang pakai urea sampai 600 kilogram per hektare, itu berlebih,” kata Nevi.
“Berdasarkan penelitian, pupuk 250 kilogram per hektar itu sudah cukup. Itu yang diusulkan. Tapi yang turun kurang dari 250 kilogram sehingga kurang. Setiap tahun seperti itu. Makanya selalu terjadi permasalahan,” imbuh wanita ramah itu.
Disinggung soal harga pupuk subsidi, Nevi mengaku, Kementerian Pertanian (kementan) sudah menetapkan HET (harga eceran tertinggi). Karena itu, ketika kelompok tani (poktan) membeli pupuk subsidi, harganya sesuai dengan HET.
Selain itu, apabila petani mengeluh lantaran harga pupuk subsidi mahal, bisa dipicu karena adanya ongkos transpor. Sebab, bukan tidak mungkin jika poktan tidak memiliki kendaraan, justru pemilik kios pertanian yang mengantar pupuk ke alamat poktan. Otomatis, petani harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar jasa pengiriman.
“Belum lagi kalau poktan menggalang kas dari pupuk tadi. Tapi itu semua tergantung dari masing-masing poktan. Dinas tidak mengetahui. Kalau mereka setuju, ya monggo,” jelasnya.
Guna mengantisipasi kurangnya ketersediaan pupuk subsidi, Nevi meminta petani mengubah mindset untuk beralih menggunakan pupuk organik. Sebab, ada beberapa manfaat yang petani dapatkan. Mulai dari ramah lingkungan dan petani bisa memproduksi sendiri. Selain itu, bahan baku untuk memproduksi pupuk organik melimpah, seperti limbah sapi hingga limbah ayam.
Terkait keterlambatan, dispertapa sudah berkoordinasi dengan distributor ke kios-kios pertanian setempat. Nevi menegaskan, dengan adanya surat keputusan (SK) alokasi, jumlah pupuk yang harus disalurkan kepada petani sudah paten. Namun, ada alasan dari distributor. Yakni, terkendala armada pengiriman.
“Harusnya pengisian kios-kios tepat waktu, agar (pupuk, Red) bisa dipakai petani saat musim tanam,” tandasnya.
Data dari dispertapa, tahun ini alokasi pupuk bersubsidi sektor pertanian menurut jenis pupuk dan sebaran di 22 kecamatan wilayah Kabupaten Blitar sudah dirilis. Rinciannya, ada 33.569 ton pupuk Urea, 119 ton SP-36 untuk Kecamatan Kademangan, Ponggok, Selopuro, Talun, Udanawu, Wates, dan Wlingi.
Kemudian, 2.357 ton pupuk ZA yang bakal dialokasikan untuk Kecamatan Binangun, Kademangan, Kesamben, Panggungrejo, Ponggok, Selopuro, Selorejo, Talun, Udanawu, Wates, dan Wlingi. Pupuk NPK 23.530 ton dan Organik Granul sebanyak 7.397 ton.
Seperti diberitakan, Sekretaris Komisi II DPRD Kabupaten Blitar, Andi Widodo menyebut, kelangkaan memang terjadi pada kategori pupuk subsidi. Menurut dia, ini berimbas pada distribusi pupuk yang tidak merata sehingga sejumlah petani harus menanggung dampak yang kurang maksimal dari hasil pertanian. (mg2/c1/wen).