KABUPATEN BLITAR – Ragam corak kain jumputan yang menawan tentu memanjakan mata. Demi menciptakan sebuah mahakarya, Arini Kumalasari, warga asli Kecamatan Wlingi ini menuangkan kreativitas bersama keluarganya. Bukannya semakin repot, justru hasil yang diperoleh lebih memuaskan.
Sedari pagi, kain-kain putih sudah dipersiapkan. Sarung tangan karet dan pewarna pakaian sudah siap di rak. Dari halaman rumah yang terletak di Kelurahan Tangkil, Kecamatan Wlingi, sesosok kepala menengok langit. Memastikan cuaca cerah atau justru buruk. Ya, Arini Kumalasari, gadis tangguh itu rupanya akan memulai produksi kain jumputan.
Uniknya, perempuan yang akrab disapa Arin itu tidak mengerjakannya sendiri. Mulai pembuatan pola, mencuci, mengikat warna, hingga memasarkan di media digital, dilakukan kompak bersama keluarga. Tentu saja, pekerjaan yang cukup berat itu terasa semakin ringan dan menyenangkan. Keluarnya keringat dan datangnya keuntungan, bisa dibagi rata dengan keluarga.
Arini mengaku, profesi yang dia geluti dengan kejelian ini bermula dari hobi. Merasa tertantang, perempuan ramah itu lalu memutar otak. Kali pertama dia memicu rasa penasaran pengguna media sosial lewat berbagai cara. Dirasa cukup, Arini kemudian bergegas melakukan pendekatan, mengenalkan kain jumputan itu, baik getok tular maupun melalui digital. “Awalnya karena memang cuma hobi. Nekat aja, beranikan diri buat bikin wadah pengenalan di medsos,” ujar Arini.
Setelah melalui berbagai rintangan, usaha yang dia mulai sejak November tahun lalu itu terus berkembang pesat. Bahkan, kini dia bisa berkolaborasi dengan produk-produk lokal dan memantik rasa kagum pelanggannya. Dia tak kekurangan akal. Keberaniannya, lantas membuatnya mengajukan proposal demi berpartisipasi di beragam acara UMKM.
Di balik kesuksesan Arini mengusung kain dengan motif jumputan itu, ternyata ada jerih payah keluarga. Keluarganya yakin karya berupa kain dengan unsur seni itu bisa membuahkan hasil luar biasa. Namun, harus diimbangi dengan perjuangan keras.
“Alhamdulillah keluarga terus mendukung. Sampai-sampai kerja bareng untuk produksi. Senang pasti, karena ada motivasi kuat,” imbuh perempuan lulusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gajah Mada itu.
Perjalanan Arini dan keluarga tentu tak mudah. Namun, terasa begitu menyenangkan. Mereka bahu-membahu dan saling dukung demi terciptanya hasil maksimal. Bahkan, sang nenek turut andil. Arini mengaku, neneknya bertugas melepas karet pengikat sebelum akhirnya kain siap dipasarkan.
Ayah Arini yang menjadi pengawas sekolah di dinas pendidikan, kini kecipratan tugas lain. Yakni, mengunci warna menggunakan karet. Sementara sang ibu, juga tampak asyik sendiri membuat pola, pewarnaan kain, pencucian, penguncian warna, hingga mengemas untuk dijual.
“Aku juga bikin pola, mewarna kain, pengemasan, mencuci, dan penguncian warna. Kakak dan adik bantu foto dan promosiin ke medsos, mantap,” jelasnya.
“Kain shibori atau jumputan, harganya Rp 100 ribu-Rp 150 ribu. Sesuai permintaan, bahan produksi, dan kerumitan pembuatan. Kalau kimono, kemeja, outer Rp 90 ribu-Rp 200 ribu,” imbuhnya.
Perjuangan keras dengan keluarga itu, kian berbuah manis. Pasanan terus berdatangan. Misalnya menjelang Idul Fitri, mulai tetangga, pejabat, hingga peminat dari luar daerah mengalami kenaikan pesat. Dia berharap, kelompok keluarga itu terus membuatnya termotivasi melahirkan karya kain jumputan yang semakin menawan. (*/wen)