KOTA BLITAR – Seperti banyaknya tren busana yang beragam, aksesori pun dituntut selalu memiliki sesuatu baru. Tujuannya, agar bisa menyesuaikan dengan style yang sedang naik daun. Misalnya, produksi aksesori gelang, bros, hingga kalung buatan Mashun Shofwan. Jemarinya lihai menyulap kawat tembaga menjadi produk aksesori unggulan.
Mashun, sapaan akrabnya, sudah menekuni bisnis tersebut sekitar era 2009 silam. Baginya, pekerjaan membuat karya seni ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih, awalnya dia cukup lama terjun di bidang konstruksi. Namun ini tak jadi kendala. Ide cerdiknya pun tertuang dengan manis melalui seutas kawat tembaga.
Ya, jika biasanya gelang hingga bros penuh manik-manik dibuat dengan tali kusus ataupun plastik, tidak dengan Mashun. Dia lebih memilih menggunakan tembaga lantaran keunggulan yang ditawarkan. Misalnya, warna tahan lama sehingga lebih awet dalam kondisi cuaca apapun. Selain itu, modal yang dikeluarkan saat produksi juga tidak terlalu besar. Indikator inilah yang membuat ruang kerjanya penuh dengan hiasan berbahan dasar tembaga cokelat itu.
“Kalau pakai kawat (tembaga), memang bikin beda dengan yang lain. Kalau biasanya kan pakai lem, dari awal saya pakai kawat dan tidak pakai lem,” ujar pria bertubuh tinggi semampai itu.
Salah satu aksesori yang cukup banyak terlihat, yakni bros. Diprediksi, ada puluhan model bros yang sukses dia buat. Keunikan terletak pada rangkaian pola tembaga membentuk simpul-simpul beraturan. Salah satunya, menyerupai desain Cakrapalah khas Bumi Penataran. Sisi simetrisnya tampak terukur dan dililit dengan taktis. Tak lupa, dia menambahkan hiasan kecil berbahan dasar kain perca, bunga kering, dan resin.
Secara garis besar, Mashun menyebut bahwa proses produksi aksesori tersebut tidak lama. Yakni, berkisar 30 menit hingga maksimal dua hari. Itu, tergantung dengan desain pesanan pembeli. Bukan hanya Cakrapalah, bapak dua anak itu juga menerima berbagai permintaan desain sesuai permintaan.
“Kalau harga, mulai dari Rp 5 ribu hingga ratusan ribu. Ini disesuaikan dengan tingkat kerumitan selama proses pembuatan,” sambung warga Desa Pojok, Kecamatan Garum itu.
Soal referensi, kata dia, murni mengandalkan kreatifitas. Ini bermula saat tahun pertama produksi. Mencari dan merancang ide secara otodidak dia lakukan berhari-hari. Maklum, saat itu teknologi tak secanggih era sekarang. “Di internet banyak. Kalau dulu kan belum ada. Sehingga murni kreasi sendiri, dan tidak sama dengan yang lain,” terangnya.
Disinggung mengapa tertarik memproduksi aksesori, Mashun mengungkapkan bahwa popularitas benda tersebut mirip dengan tren fashion. Sebab, mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Aksesori pun, kata dia, tak luput dari nilai tuntutan kreatifitas. Sehingga, tinggal bagaimana memanjakan konsumen dengan karya memikat.
Biasanya dalam waktu sebulan, omzet yang didapat bervariasi. Mulai dari Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Nah, tahun ini, omzet penjualan aksesori tersebut dipastikan meningkat. Ini menyusul situasi Covid-19 yang mulai landai. Dulu dan sekarang, aksesorinitu mengacu tren. Alhamdulillah pengiriman sampai.luar kota juga,” tandasnya. (luk/wen)