Di zaman sekarang siapa sih yang tidak menggunakan media sosial ? Melihat banyak sekali media menyiarkan berita kriminalitas yang semakin menjadi-jadi belakangan ini membuat masyarakat semakin khawatir khususnya perempuan ka rena merasa semakin tersudutkan, dan jelas ini juga berlaku kepada laki-laki yang bisa menjadi korban.
Victim blaming ini merupakan sikap menyalahkan korban, maka diperlukannya sebuah pikiran yang menggunakan imajinasi sosiologi, seperti yang disebutkan oleh Sosiolog Charles Wright Mills dalam karya bukunya berjudul The Sociological Imagination (1959). Dalam sebuah imajinasi, Sosiologi memiliki kema m puan untuk melihat keter kaitan antara kehidupan sebagai individu dengan kekua tan sosial yang lebih besar.
Mills merasa banyak sekali sebuah masalah yang dianggap masalah pribadi harus dipahami sebagai masalah masyarakat. Contoh ketika mengambil kasus kemiskinan, kita di sini menganggap mereka bisa miskin karena malas, tidak me miliki etos kerja yang cukup baik, sehingga kita bisa beranggapan bahwa ketidakbecusnya dalam bekerja serta kemalasannya itu adalah masalah pribadi. Namun jika ada begitu banyak orang mis kin, maka itu lebih baik dipa hami sebagai sebuah masalah bersama sehingga dapat mengharuskan kita untuk menghubungkannya dengan institusi politik, ekonomi, dan struktur-struktur sosial lainnya.
Mendukung pendapat Mills, dalam hal ini kalau diperhatian masyarakat cenderung menyalah kan korban (blaming the victim) daripada menyalahkan sistemnya. Jadi, selama kekerasan seksual ini hanya dipandang sebagai masalah individu, korban akan menanggung beban masalah sendirian, salah satunya victim blaming.
Victim blaming dalam Berita Kriminal Kejahatan sering terjadi di sekitar kita, walau tidak melihat secara langsung kita dapat melihatnya melalui media online. Bahkan, di beberapa media menjadikan konten kri minal sebagai suguhan utama dengan menampilkan judul dan foto yang sangat sensasional, memang media ingin menarik banyak pembaca dan hal seperti itu bukanlah sesuatu yang baru.
Selain itu, media mempunyai kesamaan lain sebuah konten-konten narasi, kriminalitas, seksualitas menggunakan komposisi yang sama tak ada asap bila tidak ada api seperti judul yang dibuat media “Suami Membunuh Istri karena Berselingkuh”.
Judul berita tersebut pasti ada sebab-akibat, kalau dipikirkan mungkin suaminya tidak akan membunuh istrinya kalau dari awal tidak berselingkuh. Namun, pemikiran ini bermasalah dan tidak bisa dibenarkan karena berpihak terhadap pelaku dan malah menganggap pelaku sebagai korban perselingkuhan.
Maka dari itu, perlakuan tersebut memberikan pandangan kepada masya rakat bahwa itu sebagai serangan balasan dan wajar saja hal itu terjadi kepada korban. Logika tersebut kerap ditampil kan di headline data kriminal, hal ini membuat masyarakat berpikir bahwa sesungguhnya korbanlah yang salah karena membuat pelaku tersulut api emosi dan seharusnya korban lebih menjaga sikapnya agar tidak menerima kekerasan dari pelaku.
Jika melihat dari berbagai berita kekerasan di media, kita bisa melihat pada umumnya perem puan dijadikan se bagai objek kri minalitas atau pelaku yang meng gaet pelaku untuk bertindak hal-hal yang tidak diinginkan, melihat tayangan-tayangan berita televisi yang menampilkan pemain perempuan, bisa dilihat mereka cenderung bersosok moral yang buruk. Seperti, melawan orang tua, berpa kaian minim, dan menggoda suami orang lain.
Penggambaran tersebut malah dapat menguatkan sebuah angga pan bahwa apa pun yang menimpa dirinya adalah hal yang wajar-wajar saja terjadi, seolah-olah korban lah yang mengundang kemalangan itu kepada dirinya sendiri.