TRENGGALEK – Melanggar hukum merupakan tindakan merugikan bagi masyarakat. Mereka yang terjerat hukum berakhir di Rutan Kelas II B Trenggalek, menjalani masa hukuman di tempat terisolasi itu. Di situ, warga binaan ternyata tidak cuma belajar kepribadia. Mereka juga dituntut punya keahlian sebagai modal bertahan hidup di tengah masyarakat kelak.
Gerbang besi tertutup rapat, berwarna khas abu-abu, menjadi penampakan luar Rutan Kelas II B Trenggalek. Cuma ada satu alat komunikasi, bel yang terletak di gerbang. Benda itu menjadi satu-satunya cara orang luar berkomunikasi dengan sipir.
Wartawan ini pun memencet bel memakai jari telunjuk. Namun, tidak ada respons selama beberapa menit. Agak grogi memencet bel lagi, tapi tak ada pilihan lain, sebelumnya sudah ada janji dan dikonfirmasi.
Bel dipencet. Tak selang lama, suara pintu besi terdengar dibuka, suaranya clang-clang, kreekk. Namun yang terbuka bukan pintu utama. Hanya terlihat mata sipir yang sedang mengintip di balik pintu besi itu.
Lantas sipir itu membuka pintu tidak ada separo, menandakan gelagat untuk tamu belum diperbolehkan masuk. “Mau bertemu siapa?” tanya sipir itu. “Pak Zainal, tadi sudah ada janji,” jawab Koran ini.
Sipir itu pun kembali meminta untuk menunggu karena perlu konfirmasi ke yang bersangkutan. Sekitar dua menit berselang, pintu besi itu benar-benar dibuka dan boleh masuk.
Di dalam, ada kursi yang terbuat dari semen. Di sekitarnya ada banyak tanaman. Tempat itu teduh. Nyaman, apalagi saat ada angin yang berhembus.
Muncul seseorang berpakaian rapi, warnanya biru muda, yang sekilas mirip TNI AU. Orang itu adalah Zainal Fanani, pria yang menjabat sebagai Kasubsi Pelayanan Tahanan Rutan Kelas II B Trenggalek.
Basa-basi tak butuh waktu lama, secukupnya. Kemudian masuk ke inti. One Day, One Prison’s Product, sahut Zainal. Dia mengatakan, program itu dicanangkan tahun lalu untuk lapas dan rutan.
Program itu bertujuan sosial. Suatu saat warga binaan lulus dari masa hukuman, mereka punya modal keahlian yang bisa digunakan untuk bertahan hidup.
Zainal mengakui bahwa era sekarang keahlian itu bervariasi. Rutan Kelas II B pun mencoba melengkapinya. Ada batik sibori, lukisan, tas rajut, teh daun kelor, teh daun mint, vas bunga dari daun kelapa, pertanian, perikanan, dan sebagainya. “Itu kita buat pemasaran lewat digital juga. Karena orang-orang sekarang, kaum milenial itu lebih senang digital,” ujarnya.
Sebelum Kemenkumham merestui One Day, One Prison’s Product, Zainal mengaku sudah ada program serupa di rutan. Kini tinggal pengembangan saja.
Di antara keahlian, Zainal mengatakan ada divisi kesenian rupa. Di situ, warga dibina sampai punya skill menggambar atau melukis. “Divisi menggambar, dulu lebih ada belasan, kini tinggal tujuh warga binaan,” kata dia.
Dalam divisi itu, menurut Zainal, warga binaan dilatih langsung oleh mentor. Mereka pun diajari tentang teknik menggambar, membuat bayangan, dan lain sebagainya.
Tak dipungkiri, bakat tiap orang beda-beda. Namun, kata Zainal, ketika warga binaan itu serius, cukup enam bulan bisa menggambar, melukis, dan layak jual. “Sekitar enam bulan sudah bisa,” ucapnya.
Karya dari kreativitas warga binaan pun tidak sepele. Di tengah kegiatan padatnya kegiatan rutin, mereka mampu membuat karya yang fantastis. Dimulai dari aliran realis, surealis, naturalis, hingga abstrak.
Zainal menyahut, belakangan ini ada karya lukis dari warga binaan yang laku dibeli Rp 600 ribu. Nilai yang luar biasa untuk satu karya. “Tentunya lebih banyak fee yang masuk ke pemilik karya,” ucapnya.
Hal itu pun dibenarkan warga binaan, Igun. Usianya masih muda, tapi sudah berada di rutan. Kulitnya banyak tato. Di tangan dan leher. Daun telinganya pun bekas tindik piercing.
Igun mengaku belajar gambar mulai dari nol. Kenal gambar juga di rutan. Sampai Oktober 2022, terhitung sudah dua tahun dia menekuni keahlinan seni itu. “Pertama memang suka, tapi belajar gambar di rutan ini,” kata sketcher wajah penyanyi Gombloh itu.
Zainal pun berharap dengan keahlian-keahlian itu warga binaan mampu bertahan hidup di tengah masyarakat. “Karena tak semua kejahatan itu dari niat, kadang mereka terpaksa,” ujarnya. (*/c1/rka)