KABUPATEN BLITAR – Siaran di stasiun radio menjadi dambaan sebagian orang. Selain bisa menyapa dan menyalurkan informasi untuk pendengar, penyiar radio juga bisa berekspresi lewat suara. Beberapa poin inilah yang membuat Diva Fortuna makin jatuh cinta dengan profesinya sebagai penyiar radio. Walaupun teknologi audio visual kian canggih, namun dia terus menciptakan ruang imajiner (theater of mind).
Sedari pagi, hawa sejuk selalu berhembus tatkala membuka pintu studio. Ruangan selebar 5×8 meter persegi itu dikelilingi karpet kedap suara untuk mendukung proses siaran. Ada mixer dan headphone yang tak boleh luput sebagai kontrol audio. Kurang lebih, sudah tiga tahun terakhir perempuan asal Desa Jeblog, Kecamatan Talun itu mengarungi dunia penyiaran radio.
Sosok yang duduk di bangku on air, berhadapan dengan microphone itu adalah Diva Fortuna. Walaupun masih hitungan tahun menjalani profesi ini, rupanya ada tantangan yang terus dia rasakan. Yakni, memoles kemampuannya menciptakan ruang imajiner pendengar lewat tema yang dia usung. Terlebih, menurut dia, tren radio kini mulai pudar lantaran kecanggihan teknologi.
“Sekarang memang era digital, canggih banget. Bahkan radio sekarang bisa live visual. Jadi penyiar sekarang kelihatan,” ujar sosok yang akrab disapa Diva di sela-sela siaran.
Tak dipungkiri, radio sempat mencapai popularitas di era 90-an. Namun, kuatnya daya saing gadget hingga televisi masa kini, seakan menurunkan jumlah pendengar. Diva mengaku, momen ini membuat penyiar dituntut kreatif. Utamanya dalam memproduksi konten berkualitas. Sehingga bisa terus memikat hati pencinta radio.
Membangun ruang imajiner pun tak semudah mengedipkan mata. Minimal, penyiar harus memiliki keterampilan lebih dalam mendeskripsikan topik yang sedang dibahas. Artinya, semakin detail penjelasan terhadap suatu obyek, maka pendengar akan memiliki imajinasi terhadap tema dari penyiar. Disinggung apakah trik ini mulai terkikis, perempuan berusia 24 tahun itu menampiknya.
“Karena sudah bisa ditonton, tetap fokus ke on air bagaimana suara tetap ngena dan ruang imajiner tetap terbangun. Sesekali harus sapa di visual juga,” ungkapnya.
Pembauran teknologi, kata dia, membantu penyiar untuk bisa melatih mental. Sebab, bisa menyapa pendengar melalui sarana siaran langsung audio visual. Rasa penasaran publik terhadap sosok yang setiap hari membagikan informasi juga terjawab. Sehingga meredam rasa penasaran pendengar.
Seiring berjalannya waktu, Diva yang sejatinya pemalu, harus berdamai dengan kepribadiannya. Bahkan ketika disorot kamera, dia harus melambaikan tangan dan menyapa pendengar sekaligus penontonnya di dunia maya. Dia menilai, ini bisa menjadi ajang personal branding sehingga mampu bersaing di era digital.
“Radio banyak ditinggalkan. Banyak beralih ke internet. Visual seolah membantu saya untuk beradaptasi di dunia digital yang serba modern,” tandasnya. (*/wen)