KABUPATEN BLITAR – Selain dokter, perawat memiliki bagian penting dalam proses penyembuhan ataupun pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tantangan perawat juga kian kompleks. Tidak hanya membersihkan luka, injeksi obat, dan aktivitas pelayanan lain, namun juga harus piawai dalam berkomunikasi.
“Dulu perawat itu rawat luka dan nyuntik. Sekarang jauh beda. Mulai dari observasi, perencanaan, dan harus paham psikologis pasien maupun keluarga,” ujar Eka Yunaety mengawali cerita debut perawat di lingkungan kesehatan.
Yunaety boleh dikatakan sebagai senior perawat di Bumi Penataran. Utamanya di rumah sakit umum daerah (RSUD) Ngudi Waluyo.
Tak kurang dari 30 tahun dia mengabdi di sektor pelayanan kesehatan. Mulai dari tenaga fungsional keperawatan dan beberapa tahun terakhir dipercaya menjadi personel di jajaran struktural rumah sakit.
Dia juga masih ingat ketika perawat dibebani tanggung jawab menjaga kebersihan lingkungan pelayanan kesehatan. Itu terjadi sebelum keluarnya undang-undang keperawatan. “Dulu tahun 90-an, selain memberikan pelayanan kesehatan, perawat ya bersih-bersih juga seperti menyapu dan mengepel,” katanya.
“Kala itu memang menjaga kebersihan lingkungan sangat penting, terutama untuk mencegah infeksi,” imbuh warga Desa Beru, Kecamatan Wlingi itu.
Kini, usai keluar regulasi khusus terkait keperawatan, tugas perawat bukannya lebih ringan namun semakin kompleks dan komprehensif. Meski tidak lagi mengatasi masalah kebersihan, namun ada protokoler dalam memberikan pelayanan kesehatan secara profesional. Mulai melakukan kajian, observasi, perencanaan hingga berkomunikasi dengan pasien dan keluarga.
Komunikasi itu menjadi bagian penting dalam pelayanan. Sebab, secara teknis ada pakem yang harus dilaksanakan perawat. Di sisi lain ada norma dan budaya yang selama ini dipegang teguh oleh sebagian masyarakat. Dengan begitu, perawat dituntut mampu memadukan kepentingan kesehatan dengan norma dan budaya di masyarakat.
“Tugas perawat menjelaskan informasi perihal kondisi kesehatan dan beberapa upaya medis yang bisa dilakukan. Tapi, harus diingat juga, pasien dan keluarga tidak bisa dipaksa. Semua keputusan dikembalikan kepada pasien dan keluarganya,” jelasnya.
Dia mencontohkan, ada norma yang kadang masih jadi pedoman masyarakat. Misalnya soal angka, hal ini nyata membawa pengaruh dalam pelayanan. Sebab, pasien dan keluarga tidak berkenan dengan angka-angka tertentu. Hal ini secara tidak langsung harus dikoordinasikan agar pelayanan bisa diberikan tanpa melanggar norma budaya yang dipercayai masyarakat. “Misalnya angka yang tertentu itu dinilai negatif, jadi pasien tidak mau dirawat di ruangan dengan nomor itu. Nah, yang seperti ini juga pernah kami alami,” katanya.
Menurut dia, hal itu tidak menjadi masalah. Senyampang memang masih ada sarana atau alternatif yang bisa digunakan untuk memenuhi atau meselaraskan kepentingan medis dan kebudayaan di masyarakat.
Nenek dua cucu ini melanjutkan, pengalaman paling berharga baginya selama berperan di lingkungan kesehatan adalah pandemi korona. Bukan pengalaman dalam dunia medis, melainkan pengalaman spiritual. “Pandemi ini luar biasa, dia memberi tahu kita bahwa uang itu tidak bisa jaminan, manusia itu harus siap setiap saat jika Tuhan menginginkan,” ungkapnya.
Perawat, kata dia, adalah orang-orang yang harus siap dengan segala risiko. Temasuk terpapar Covid-19. Betapa tidak, ketika semua orang menjauhi virus, perawat justru harus mendekat memberikan pelayanan. Karena itu, potensi tertular kasus lebih tinggi. Tahun lalu banyak nakes yang terpapar, karena memang setiap hari perawat nyaris mengambil udara yang sama di tempat pasien terpapar korona.
Perempuan yang juga menjabat kabid keperawatan RSUD Ngudi Waluyo ini paham betul berapa lama kemampuan seorang nakes yang mengenakan alat pelindung diri (APD). Cermat dalam membagi jadwal menjadi keharusan. “Orang pakai hazmat itu paling lama bertahan empat jam. Lebih dari itu sudah pasti pusing,” tuturnya.
Selain itu, dia juga harus memperhatikan kondisi fisik personel. Jangan sampai ada nakes yang terpapar dan membawa dampak negatif terhadap nakes lain. Untuk mencegah penularan, minimal dua bulan sekali ada pemeriksaan kesehatan nakes. “Kami juga harus pastikan mereka bisa istirahat cukup. Karena ketika personel ini terserang virus, siapa yang akan memberikan pelayanan,” tandasnya. (*/c1/wen)