KOTA BLITAR – Dibesarkan dalam perbedaan, Titis Bodrotriwasti memilih menjadi pemuka agama Konghucu. Melalui bekal ilmu agamanya, dia terus berupaya mengajarkan toleransi dan kemanusiaan kepada umat.
Seusai terbakar pada November 2021 lalu, kondisi Kelenteng Poo An Kiong kini masih dibangun. Tahun ini menjadi tahun kedua umat Tridharma tidak bisa merayakan Imlek di kelenteng satu-satunya di Blitaritu. Tempat peribadatan pun akhirnya dialihkan ke kantor Sekretariat Kelenteng Poo An Xiong, di Jalan Mawar nomor 53. Lokasinya tidak jauh dari kelenteng.
Meski begitu, antusiasme umat tetap tinggi menyambut Tahun Baru Imlek 2574 Kongzili. Buktinya, sembahyang menghantar para Sien Bing ke nirwana beberapa hari lalu diikut banyak jemaat dan berjalan cukup khidmat.
Kemarin (17/1), Koran ini berkunjung ke kantor sekretariat yang sementara dijadikan tempat ibadah tersebut. Kantor tersebut berbentuk ruko. Memasuki ruko, tampak beberapa orang sedang sibuk memandikan sejumlah patung dewa atau Kiem Sien, sebutan para dewa. Mereka membersihkan Kiem Sien di beberapa sudut ruangan.
Kedatangan Koran ini disambung hangat oleh salah satu pengelola kelenteng. Dia mengarahkan Koran ini ke tempat suci, tempat patung para dewa. Di sana, puluhan Kiem Sien berjajar rapi di atas meja yang tertata mengelilingi ruangan berukuran sekitar 3×5 meter itu. Sebagian dari Kiem Sien itu tengah dimandikan.
Salah satu dari mereka adalah Endang Titis Bodrotriwasti. Rohaniawan Konghucu ini juga turut memandikan Kiem Sien dengan air teh dan air bunga. Di sela-sela sibuk membersihkan patung-patung dewa itu, warga Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sananwetan, ini menceritakan pengalamannya sebagai Xueshi alias rohaniawan Konghucu.
Titis mengaku berasal dari lingkungan keluarga yang moderat. Dia dibesarkan dari keluarga yang tidak pernah membedakan status sosial, warna kulit, hingga agama. “Banyak perbedaan yang saya temui sejak masih kecil di kehidupan saya,” ungkapnya, mengawali ceritanya.
Perempuan 66 tahun ini telah terbiasa dengan perbedaan. Menurutnya, perbedaan adalah suatu keniscayaan yang merupakan wujud kebesaran Tuhan terhadap ciptaan-Nya. Melalui perbedaan, dia belajar tentang makna toleransi.
Sebelum menjadi Xueshi, Titis menempuh pendidikan keagamaan di Sekolah Pendidikan Guru Atas Agama (PGAA) di Solo sekitar tahun 1974. Kala itu, di era kepemimpinan Presiden Soeharto, untuk menempuh ilmu keagamaan terutama Konghucu sangat sulit. “Pendidikan keagamaan pada masa kepemimpinan Soeharto sangat dibatasi,” kata perempuan berkacamata ini.
Di masa presiden kedua itu, pendidikan keagamaan hanya untuk lima agama. Yakni, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Akibatnya, umat Konghucu harus memilih di antara lima agama tersebut.
Di sekolah PGAA, dia ajarkan tentang keagamaan khususnya Konghucu. PGAA itu bertujuan untuk mencetak guru agama. “Sebenarnya saya tidak terpanggil menjadi guru, tapi saya ingiin mendalami agama,” akunya.
Selama menempuh pendidikan, perempuan asal Purworejo, Jawa Tengah, ini merasa kesulitan dalam tulis menulis. Sebab, dia belum begitu mengenal tulisan kanji. Di awal bersekolah, dia menulis huruf kanji asal-asalan. Meskipun butuh waktu yang lama untuk mempelajari tulisan kanji, akhirnya dia berhasil lulus pendidikan.
Pada 1976, dia pun ditugaskan menjadi pengajar agama di Tegal, Jawa Tengah. Saat itu, pengajar agama sangat dibutuhkan. Dia menyadari bahwa kemampuan dan pengalamannya belum memadai untuk bisa mengajar.
Dia terpaksa berhenti mengajar karena keberadaan agama Konghucu kala itu tidak diakui oleh negara. Meskipun begitu, dia merasa cocok dengan ajaran Konghucu sebagai iman sekaligus way of life. “Ini menjadi tantangan bagi saya untuk memperjuangkan agama Konghucu agar diakui oleh negara,” terangnya.
Pada 1977, dia diangkat menjadi Jiao Sheng, sebutan rohaniawan pemula agama Konghucu. Syarat menjadi Jiao Sheng yakni mengikuti ujian dengan membuat karya tulis. Rohaniawan pemula harus mengajarkan tentang agama. Utamanya pada hati diri sendiri.
Harapannya agar rohaniawan mampu membuka hati, membina diri, dan siap belajar bersama. “Sehingga para Jiao Sheng selalu menanam benih yang baik untuk ditebarkan kepada seluruh umat Konghucu,” tutur ibu lima anak ini.
Perjuangan Titis dalam membela agamanya terus berlanjut. Pada 2000, dia diangkat menjadi Wenshi atau rohaniawan madya di Kota Solo. Wenshi artinya pengetahuan sastra sehingga Wenshi harus menguasai kitab. Sebelum menjadi Wenshi, dia harus mendapat pengakuan umat. “Pengakuan umat ini sulit-sulit gampang. Sebab, itu berupa penilaian orang lain,” ujarnya.
Setelah melewati beberapa tahapan dan kebaktian di beberapa kota, pada 2003, dia dipercaya menjadi Xueshi. Selain harus mendapat pengakuan dari umat, menjadi Xueshi harus dilengkapi dengan surat rekomendasi dari lembaga di kota dan harus ditentukan oleh Dewan Kerohanian.
Singkat cerita, pada 2011, dia hijrah dan menetap di Blitar. Dia merasakan suasana di Blitar begitu sejuk. Kedatangannya disambut dan diterima baik oleh umat di Blitar. “Di samping itu, biaya hidup di Blitar lebih terjangkau,” ucapnya, lantas tersenyum.
Titis mengakui peran Gusdur (KH Abdurahman Wahid, Presiden ketiga Indonesia) dalam memperjuangkan etnis Tionghoa sangat besar. Menurutnya, sosok Gusdur memang pilihan Tuhan yang dihadirkan untuk memperbaiki kondisi di Indonesia. Dia berharap, Indonesia dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika bisa membumi dan terealisasi. “Saya yakin, semua agama mengajarkan kebaikan. Kita memang bukan saudara seagama, tapi kita saudara dalam kemanusiaan dan kebangsaan,” tandasnya. (*/c1/sub)