TRENGGALEK – Helen Kurniawan sudah bekerja di Rumah Coklat Trenggalek sejak 2015. Selama berjalan hingga tahun ketujuh, Wawan –panggilan akrabnya- mengikuti proses perkembangan Rumah Coklat dari lingkup lokal hingga lika-liku merambah pasar ekspor.
Pengunjung Rumah Coklat kemarin (8/2) tak seramai seperti sebelum kemunculan pandemi Covid-19. Hanya ada satu kelompok pelajar yang belajar kelompok di salah satu gazebo, dan ada beberapa pengunjung lain dari kalangan remaja. Situasi itu pun menunjukkan jika Rumah Coklat merupakan salah satu objek wisata yang terdampak pandemi Covid-19.
Wawan yang bekerja sebagai operator mesin pengolahan itu bercerita, sebelum pandemic, intensitas pengunjung lebih banyak. Mulai dari kalangan taman kanak-kanak, pendidikan anak usia dini (PAUD), hingga jenjang lebih tinggi. Sebab setelah kemunculan pandemi, tempat-tempat wisata tak lagi diperbolehkan untuk dikunjungi.
Namun di balik situasi pandemi itu, kata Wawan, jangkauan pemasaran Rumah Coklat mengalami peningkatan. Dari semula lingkup lokal, kemudian mulai merambah ke ekspor. “Sekitar akhir 2019 lalu mulai ekspor,” ungkapnya, saat berada di ruang pengolahan kakao.
Wawan mengaku kualitas kakao ekspor terletak pada beberapa aspek. Seperti kadar air yang tidak melebihi 7 persen hingga kandungan minyak pada coklat. Namun, kualitas kakao ekspor itu membutuhkan pengolahan kebun yang berkualitas pula sehingga tak serta-merta semua produksi kakao dari petani punya kualitas ekspor.
“Kalau kualitas, sudah bagus karena petani di sini kami bina cara mengolah biji yang bagus dan bisa diekspor. Namun sering kali kadar air kakao dari petani kurang kering sehingga perlu dijemur sampai bisa disimpan 7 persen kadarnya,” ucapnya.
Tak ayal, karena kualitas kakao menjadi harga mati di pasar ekspor, kemampuan Rumah Coklat mengekspor kakao pun belum maksimal. Selama tiga tahun (sejak 2019, Red), kemampuan ekspor rata-rata 1,5 ton per tahun atau sekitar 1,5 kuintal per bulan. “Kami belum mampu untuk MoU (memorandum of understanding) karena petani yang kami bina belum sepenuhnya mau untuk kakao kualitas grade A atau yang fermentasi. Jadi, model kerja samanya kalau ada biji maka kita kirim,” ungkap pria kelahiran 1990 ini.
Penyerapan sekitar 2,5 ton biji kakao dari para petani, kata Wawan, sebagian besar biji kakao itu pun diolah untuk dijual di pasar lokal. Di situasi pandemi yang membuat tingkat konsumen menurun signifikan, produksi kakao Rumah Coklat turun menjadi 20 kilogram (kg) dari semula bisa mencapai 40-50 kg per bulan. “Dari biji kalau normal, itu dapat produk permen coklat, bubuk coklat 15 kg, maupun produk lain,” ujarnya.
Sedangkan proses pengolahan, menurut Wawan, untuk 10 kg biji membutuhkan waktu hingga satu pekan. Hasil pengolahan itu nantinya bisa mencapai 2.000 biji permen. “Karena ada campuran, seperti susu, sehingga produksinya bisa lebih banyak,” ungkap warga Desa/Kecamatan Karangan tersebut. (*/c1/rka)