TULUNGAGUNG – Jono yang mulai sudah tidak muda lagi kini masih semangat mengelola Candi Gayatri. Meskipun dia hanya mendapatkan insentif dari pihak BPCB maupun sentuhan perhatian dari Pemkab Tulungagung.
Bekas air hujan membasahi sepanjang jalan menuju lokasi salah satu wisata bersejarah di Tulungagung. Walaupun tempatnya sedikit tersembunyi dari jalan raya. Memang kemarin siang (26/1) pukul 15.30 WIB baru saja turun hujan gerimis, namun ketika datang di wisata peninggalan Kerajaan Majapahit ini seolah rintik hujan berhenti.
Bahkan air hujan masih membasahi ketika memasuki lorong sepanjang 12,5 meter sebelum sampai gerbang candi. Terlihat laki-laki berusia 70 tahun sedang membersihkan rumput-rumput yang tengah menghiasi bangunan candi. Dia ialah Jono, juru pelihara Candi Gayatri yang ditunjuk oleh pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur sejak 1989. Awalnya cucunya yang diminta untuk mengelola situs sejarah ini. Karena keturunannya itu menolak untuk alasan tertentu hingga akhirnya Jono yang menjadi penjaga candi ini.
“Saya bersyukur dapat memiliki pekerjaan ini. Meskipun saya hanya lulusan SMP dan tidak ada latar belakang sejarah. Tapi pihak BPCB memberikan pengarahan sejarah candi ini agar saya dapat bertugas dengan baik,” ujar Jono saat ditemui di pelataran Candi Gayatri.
Rumah dari laki-laki yang pekerjaan utamanya merupakan petani ini memang tidak jauh dari area Candi. Hanya sekitar 50 meter, bahkan dia hanya butuh berjalan kaki selama semenit saja untuk ke tempat kerjanya itu. Sehingga lokasi rumahnya mendukung pekerjaanya sebagai orang pertama di Candi Gayatri.
Namun selama pandemi covid-19 gerbang dari Candi Gayatri sering terkunci. Lantaran sepi pengunjung yang hanya terdapa 2 hingga 3 orang saja dalam setiap dua hari. Lalu, gerbang candi hanya dibuka ketika pagi hingga waktu Dhuhur dan saat ada acara atau tamu dari instansi pemerintah. Padahal sebelum pandemi, pengunjung mecapai 5 hingga 10 orang tiap dua hari.
Selain itu, banyak pelajar dari tingkat sekolah dasar, hingga mahasiswa yang penasaran dengan candi paling terkenal di Tulungagung ini. Bahkan Jono mengaku beberapa kali pengunjungnya berasal dari luar negeri seperti, Thailand, Belanda, dan Singapura. Alasan lain gerbang candi dikunci juga karena beberapa kali terdapat orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang membuang sampah di area candi dan membuang dupa pada bagian induk candi. Hal itu semput membuat Jono menggelengkan kepala, sehingga memutuskan untuk mengunci gerbang candi.
“Candi Gayatri ramai bila ada acara ritual dan kunjungan dari tamutamu dinas atau pengunjung yang sedang melakukan penelitian. Bahkan bila ada ritual, pasti menyisakan sampah yang tidak sedikit jumlahnya,” terangnya.
Jono mengaku senang bila menceritakan sejarah Candi Gayatri yang awalnya hanya dinamai sebagai Candi Boyolangu ketika ditemukan pertama kali pada tahun 1914. Candi ini ditemukan pada timbunan tanah, sehingga masyarakat setempat melakukan penggalian hingga ditemukanlah bangunan bersejarah ini.