KABUPATEN BLITAR – Azan merupakan panggilan bagi umat Islam untuk menunaikan salat fardu. Di Indonesia, khususnya di Blitar, irama azan memiliki ciri khas tersendiri. Namun, hampir di masjid-masjid besar, irama azan berkiblat pada Makkah dan Madinah. Salah satunya di Masjid Agung Miftahul Jannah, Wlingi.
Waktu menunjukkan pukul 17.15 WIB. M. Choirul Anwar bergegas persiapan azan magrib di Masjid Agung Miftahul Jannah, Wlingi. Sesaat sebelum azan dikumandangkan, terlebih dulu mengumandangkan tarhim.
Tarhim merupakan bacaan salawat yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Maksimal, tarhim dikumandangkan 7 menit sebelum azan. “Setelah itu barulah saya azan magrib,” ujar M. Choirul Anwar ditemui di Masjid Agung Miftahul Jannah Wlingi, kemarin (26/4).
Di masjid terbesar di wilayah Wlingi itu, pria yang akrab disapa Choirul itu mendapat jatah untuk azan magrib. Selain dia, ada empat muazin yang bertugas mengumandangkan azan di masjid tersebut. Masing-masing muazin sudah mendapat jadwal saat waktu salat fardu tiba.
Selama Ramadan tidak ada perubahan jadwal azan bagi muazin. Masih sama seperti hari biasa. Namun, ada tambahan tugas bagi muazin, yakni menjadi bilal atau muroqi.
Bilal bertugas ketika salat Tarawih dan Jumat. Setiap muazin digilir untuk menjadi bilal. Total muazin di Masjid Agung Miftahul Jannah Wlingi ada lima orang. “Di antara itu, pengurus mengambil anak (siswa, Red) dari MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Wlingi,” terang pria yang sudah dua tahun menjadi muazin itu.
Teknis azan di Masjid Agung Wlingi pada umumnya sama dengan masjid besar lain di sejumlah daerah. Irama azan yang dikumandangkan berkiblat pada azan di Makkah serta Madinah, Arab Saudi. Muazin sebisa mungkin menirukan.
Nah, untuk bisa menirukan gaya azan tersebut, tentunya harus melalui serangkaian latihan. Begitu juga Choirul. “Saya awal menjadi muazin itu karena diajak oleh pengurus takmir. Di situ saya dilatih bagaimana melafalkan azan yang baik dan benar. Sekaligus belajar iramanya,” ungkap pria 27 tahun ini.
Selain dilatih oleh guru, Choirul terkadang juga menonton tayangan azan. Ketika melihat tayangan itu dia bisa mendengar irama azan yang dilantunkan oleh muazin asal Makkah atau Madinah. “Awalnya memang susah ketika harus menirukan irama azan Makkah ataupun Madinah. Sebab, nadanya panjang. Selain itu, saya sejak kecil terbiasa mendengar azan gaya Muammar ZA (legenda qori Indonesia),” ungkap warga Desa Pagergunung, Kecamatan Kesamben itu.
Seiring berjalan waktu, Choirul pun akhirnya mampu menguasai azan dengan irama Makkah dan Madinah. Meskipun dalam hatinya ingin mengumandangkan azan dengan irama lain. Dengan kata lain agar tidak monoton. “Tetapi di masjid sini lebih diutamakan menggunakan irama azan Makkah dan Madinah,” terangnya.
Karena mendapat jatah azan magrib, selama Ramadan ini Choirul harus bisa menyesuaikan. Biasanya, ketika sudah memasuki waktu magrib, alarm jam digital langsung berbunyi. “Tit, tit, tit,” ucapnya menirukan bunyi alarm.
Dia langsung meneguk segelas air putih untuk membatalkan puasa. “Setelah itu saya azan magrib. Makan berbuka, baru setelah itu salat,” ujarnya.
Dalam merekrut muazin, Masjid Agung Wlingi memiliki kriteria khusus. Salah satunya harus fasih. “Juga harus paham ilmu makharijul huruf atau teknik melafalkan huruf,” tuturnya.
Pengurus tidak mengharuskan dia seorang qori. Yang penting calon muazin haruslah fasih. “Tentu harus melalui seleksi dulu,” tandasnya. (*/c1/wen)