TULUNGAGUNG- Mengenyam pendidikan di Eropa, Monis Pandhu Hapsari sempat merasa krisis identitas dengan kebudayaan di tanah kelahirannya. Bermula dari situ, dia mulai kembali mengenal kearifan budaya lokal dan kini menjadi pegiat kebudayaan dari Dirjen Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Berawal dari memerankan teater di salah satu universitas di Italia, Monis Pandhu Hapsari, perempuan yang lahir di Tulungagung ini merasa bahwa identitas sebagai orang Indonesia itu penting. Dari situ, dia mulai tergugah untuk menggali lebih dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia, khususnya Tulungagung.
Dia melihat kebudayaan lokal yang ada dengan sudut pandang yang baru agar kecintaan terhadap kebudayaan lokal tumbuh. “Kecintaan terhadap nilai-nilai kebudayaan Indonesia, saya rasakan sejak berkesempatan mengenyam pendidikan di Italia,” katanya.
Beragam orang ditemui, serta salah satu peran yang didapatkannya pada kesenian teater menjadikan dirinya merasa identitas sebagai orang Indonesia penting. “Memori saya sebagai orang Indonesia keluar ketika perform teater itu. Jadi, dari situlah saya menguatkan bahwa ini lho yang pada orang lain itu tidak ada. Berarti banyak ya di dalam diri saya ini merekam kebudayaan Indonesia, yang saya sendiri tidak akan mengeluarkan ketika itu tidak diolah dalam pertunjukan teater,” jelasnya kemarin (12/7).
Monis -sapaan akrabnya- melanjutkan, bermula dari perannya di salah satu teater tersebut, dia mulai tergugah untuk menggali lebih dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia, khususnya Tulungagung.
Selain itu, untuk menggali kecintaannya terhadap kebudayaan Indonesia, dia rela mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk masuk ke laboratorium. “Setiap satu minggu itu pasti ke labotarium dan biayanya sangat mahal, bisa jutaan rupiah. Nah, untuk itu saya sempat bekerja paro waktu dengan menjadi fotografer perusahaan teater di sana,” tandasnya.
Dari situ, dia merasa banyak sekali kebudayaan yang terpendam pada setiap manusia, begitu juga dengan orang-orang Indonesia. Lantaran struktural pendidikan yang bisa memunculkan kebanggan pada kebudayaan lokal. Maka, dengan struktural pendidikan berkualitas dapat memunculkan identitas-identitas terpendam. “Contohnya gini, dulunya waktu perkenalan itu biasanya kan gini, ‘hai saya Monis dari Indonesia, tinggal di pulau Jawa’. Nah sekarang berbeda, ‘hai saya Monis, saya tinggal di sebuah pulau terbesar di dunia serta memiliki 26 gunung vulkanis aktif dan termasuk pulau yang terpadat juga lho’. Dari perkenalan itu kan bisa beda ceritanya,” paparnya.
Dengan pengalamannya mengenyam pendidikan di luar negeri, dia dapat melihat kebudayaan lokal dengan sudut pandang yang baru. Setelah kembali ke Indonesia, dia dapat menghargai kebudayaan lokal yang kaya akan nilai-nilai luhur. “Itu penting. Menurut saya, melihat kebudayaan lokal dengan sudut pandang yang berbeda itu sangat membantu untuk lebih menghargai kebudayaan-kebudayaan lokal,” ucapnya.
Dari sepak terjangnya tersebut, dia ditunjuk Dirjen Kemendikbud untuk menjadi penggiat kebudayaan di Tulungagung. Dengan begitu, tugas yang diembannya yakni melakukan pelindungan kepada kebudayaan-kebudayaan di Tulungagung. Adapun salah satu pelindungan kebudayaan yakni dengan melakukan administrasi, pencatatan atau pendataan kebudayaan. “Jadi itulah kenapa yang dari pusat pun mendorong pemerintahan daerah masing-masing untuk mulai mencatatkan. Baik itu yang sudah hilang ya harus dicatat atau didata. Karena setiap objek kemajuan kebudayaan itu tidak berdiri sendiri, pasti ada ekosistemnya,” ujarnya.
Disinggung terkait salah satu kebudayaan Tulungagung yang membuatnya terpukau, dia mengaku, semakin mendalami kebudayaan di Tulungagung justru semakin banyak kebudayaan yang membuatnya terpukau. Termasuk masyarakat Tulungagung yang spiritualis dan dekat dengan alam. Selain itu juga ada kebudayaan di daerah Sendang dan Pagerwojo yang merayakan hari lahirnya sapi dalam bentuk ritus. Hanya saja, dengan periode masa sekarang malah membuat orang-orang seperti itu terasa aneh. “Mungkin tidak semua tempat ada. Itu pun di Tulungagung sudah blak-blakan. Seperti ritus-ritus itu juga. Salah satu tantangannya kan ketika ritual, itu bagaimana mengembalikan ke dalam esensi nilai. Bukan hanya secara formalitas seremonial saja,” paparnya.
Selain itu, disinggung terkait realita gesekan kebudayaan dengan keagamaan, dia mengaku bahwa memang di beberapa tempat ada gesekan antara kebudayaan dan agama. Dengan mengagap suatu ritus atau kegiatan kebudayaan menyalahi aturan agama. Namun di lain sisi, ritus tersebut merupakan sebuah bentuk komunikasi serta bentuk penghormatan dengan pendahulu ataupun alam, bukan sebuah penyembahan. “Memang tidak dipungkiri ada bentuk gesekan antara kebudayaan dan agama, tapi ketika ada dialog permasalahan itu dapat terselesaikan kok,” tutupnya. (*/c1/din)