KABUPATEN BLITAR – Fenomena tanah gerak beberapa bulan lalu masih menyisakan pilu bagi warga terdampak. Mengungsi di rumah anak dan saudara masih dilakukan karena rumah pribadi tidak mungkin ditempati.
Jalan rusak dan berliku mengiringi perjalanan Koran ini menuju Desa Maron, Kecamatan Kademangan. Empat rumah terpampang jelas tanpa atap akibat tanah gerak beberapa bulan lalu.
Motif retakan menghiasi seluruh dinding rumah. Lantai yang menjadi pijakan sekaligus kumpul keluarga itu tak karuan posisinya. Struktur utama bangunan doyong. Kondisi ini terjadi karena tanah di bawahnya ambles. Rumah tersebut sudah tak berpenghuni. Pemiliknya memilih mengungsi.
“Tanah gerak di daerah ini pernah terjadi pada 2002. Namun yang paling parah itu saat Oktober tahun lalu,” ucap Anton Susilo yang tidak lain adalah anak pemilik rumah.
Beragam cara dilakukan untuk mengurangi dampak fenomena alam ini. Misalnya, dengan menutup retakan di area pekarangan. Namun, upaya tersebut berbanding terbalik dengan kehendak alam. Hujan dengan intensitas tinggi terus mengguyur hingga kini. Akibatnya, retakan pada tanah pun tak terbendung.
Orang tuanya terpaksa mengungsi dan tinggal serumah dengan dia dan anak-istrinya. Untuk sesaat, perasaan senang terpancar pada raut wajahnya saat berbicara hal tersebut. “Saya senang saat orang tua saya bisa tinggal di rumah saya. Namun, hampir setiap hari mereka menanyakan tentang perbaikan rumahnya,” keluhnya.
Pria 42 tahun ini menunjukkan beberapa bagian rumah yang rusak. Hampir tidak ada satu pun bangunan rumah yang masih bisa dianggap layak. Beberapa waktu lalu, dia mengaku sengaja menurunkan genting yang masih menaungi rumah tersebut. Baginya, genting yang dibiarkan akan semakin rusak. Apalagi jika terkena hujan dan panas terus-menerus. “Daripada terbuang sia-sia, lebih baik disimpan agar bisa digunakan lagi,” terangnya.
Sebenarnya, pemerintah setempat melarang warga membongkar rumah terdampak tanah gerak tersebut. Mungkin karena dinilai rawan dan membahayakan.
Kegiatan menurunkan genting ini bukan tanpa risiko. Anton harus ekstra hati-hati karena tanah di area pekarangan ini sangat labil. “Saat hujan deras, tanah pasti ambles. Mungkin sekarang sudah sekitar 2 meter,” papar pria dua anak ini.
Ada sedikit harapan yang kini menggantung di angannya. Yakni, wacana bantuan untuk pembangunan rumah baru dari pemerintah.
Anton paham butuh bujet besar untuk membangun rumah baru. Kebutuhan material saat ini cukup mahal. Setidaknya, dia harus mengantongi lebih dari Rp 100 juta untuk membuat hunian baru. “Kami belum cukup dana untuk membangun rumah baru,” akunya.
Anton tidak sediri. Beberapa rumah lain di kanan dan kiri rumah orang tuanya juga mengalami kondisi yang sama. Misalnya, kios berukuran sekitar 6×7 meter yang kini menjadi hunian karyawan.
Wawan -sapaan akrabnya- tidak mempunyai bangunan di tempat lain. Hal tersebut mengharuskan dia dan keluarga menetap di kios depan rumah.
Wawan pernah menambal bangunan rumahnya dengan semen. Itu merupakan ikhtiar untuk meminimalisasi kerusakan yang lebih parah pada huniannya. Sayangnya, hal tersebut terasa sia-sia. Sebab, bencana tanah gerak tetap menghabisi rumahnya. “Kamar mandi dan dapur sudah tidak bisa dipakai. Saat ini ruang keluarga saya jadikan dapur,” terang pria dua anak ini.
Pria 43 tahun ini mulanya tinggal di Kabupaten Madiun. Dia menempati rumah tersebut karena peninggalan orang tuanya. Sepetak tanah tak terpakai miliknya ada di seberang rumah. Namun, lahan tersebut masih kosong. Dia mengaku belum ada biaya untuk membangun rumah lagi. “Harapannya segera ada bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki rumah yang terdampak,” tandasnya. (*/c1/hai)