KABUPATEN BLITAR – Berawal dari tugas akhir kuliah, Chomsin pergi ke Blitar untuk meneliti pelayanan kesehatan jiwa di Desa Bacem, Kecamatan Ponggok. Selama setahun riset, dia berhasil menelurkan satu buah karya tulis, yakni jurnal kesehatan mental. Nama karyanya, LORKU Mental Health Kit.
Jarum jam menunjukkan pukul 10.00 WIB. Kamis (17/2) itu, suasana di Balai Desa Bacem, Kecamatan Ponggok, tidak seperti biasanya. Sejumlah warga memenuhi balai desa tersebut.
Mereka bukan antre mengambil bantuan sembako dan lain sebagainya. Tetapi, mereka sedang menyalurkan kreativitas seninya. Mereka adalah sejumlah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang tergabung dalam Panti Waluyo Jiwo, Desa Bacem.
Para ODGJ itu sedang asyik dengan aktivitas seninya masing-masing. Ada yang membatik hingga melukis. Guratan keceriaan terpancar dari wajah mereka.
Salah satu kegiatan yang cukup menarik perhatian adalah melukis. Menarik, beberapa lukisan yang dipajang merupakan hasil karya ODGJ. Tak disangka, mereka yang memiliki keterbatasan mental bisa menghasilkan lukisan yang apik.
Adalah Chomsin, pelukis muda di balik beberapa lukisan kreatif hasil karya teman-teman ODGJ dari Panti Waluyo Jiwo itu. Pelukis jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo ini sudah kurang lebih tiga tahun mengabdikan diri sebagai pendamping di Panti Waluyo Jiwa. Berawal dari perjalanan riset tugas akhir kuliah. “Dari riset itu, akhirnya keterusan. Sekaligus diminta untuk bergabung mengisi kegiatan di Panti Waluyo Jiwo,” ungkap pemuda asal Cilacap, Jawa Tengah kepada Koran ini, Kamis (17/2) pekan lalu.
Waktu itu, cerita Chomsin, di panti atau posyandu Waluyo Jiwo belum ada kegiatan seni semacam membatik dan lain sebagainya. Saat itu hanya melayani kontrol kesehatan jiwa. “Karena itu, saya turun untuk meneliti. Membuat kegiatan baru, yakni melukis,” tutur alumnus ISI jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) ini.
Sembari menuntaskan penelitian, aktivitas baru melukis teman-teman ODGJ itu menuai respons positif. Mayoritas ODGJ senang dan semangat dengan kegiatan tersebut. Setahun berjalan, penelitian mahasiswa semester akhir itu akhirnya kelar.
Pada awal 2019, pemuda yang baru tiga bulan melepas lajang itu, lulus kuliah dan kemudian diwisuda. “Alhamdulillah lulus akhirnya. Kuliah sudah 16 semester, tapi gak apa-apa” akunya, sembari tertawa.
Perjalanan Chomsin tak hanya sebagai pendamping ODGJ di Panti Waluyo Jiwo. Dia sempat bekerja sebagai konten kreator di salah satu perusahaan telekomunikasi di Bandung. “Tapi tidak lama, hanya sekitar setahun. Saya bosan,” akunya.
Singkat cerita, pada 2019, Chomsin mengikuti sebuah forum bertajuk Gerakan Kredibilitas Program DICE (Developing Inclusive Creative Economic) dari British Council di Bali. Di sana, dia bertemu orang-orang pemerhati hingga penyandang disabilitas. Salah satunya adalah penyandang bipolar, Vindy Ariella, sekaligus founder dari Bipolar Care Indonesia.
Pada pertemuan itu, terjadi diskusi mendalam mengenai isu-isu kesehatan mental dan jiwa. Dari situlah, muncul proyek besar. Membuat sebuah karya menarik yang ditujukan kepada orang-orang yang peduli terhadap kesehatan mental. “Di sana, kami berdua memutuskan membuat sebuah buku jurnal kesehatan mental. Tetapi, bukan sekadar jurnal biasa seperti pada umumnya. Ini terobosan baru,” terang pria 29 tahun ini.
Nah, melalui latar belakang yang berbeda, keduanya pun berkolaborasi untuk membuat buku jurnal kesehatan mental tersebut. “Latar belakang saya dari desain, dan teman saya pemerhati disabilitas sekaligus penyandang bipolar. Kami pun menyusun jurnal itu bersama dengan kemampuan ilmu masing-masing. Saya pun melakukan riset kecil,” terangnya.
Berbagai referensi dikumpulkan. Mulai dari wawancara dengan psikolog. Materi-materi untuk mengisi buku juga sudah disiapkan oleh temannya, Vindy. “Di sini, saya berusaha untuk mencari desain menarik untuk mengemas buku jurnal tersebut berdasarkan tema kesehatan mental. Bagaimana agar tampilan buku terlihat bagus,” ujarnya.
Kurang lebih setahun, buku jurnal kesehatan mental itu disusun dan akhirnya rampung. Buku jurnal kesehatan mental itu dikemas dengan sangat apik. Di buku jurnal itu dilengkapi gambar, ikon, hingga emotikon menarik. Semua karya orisinil Chomsin.
Seperti gambar emotikon, mulai dari ekpresi marah, sedih hingga bahagia, diciptakannya sendiri. Tidak hanya desain, jenis kertas untuk buku jurnal itu juga dipilihnya. “Saya itu juga riset. Biasanya yang hanya di belakang layar, mendesain, saat itu ikut mengurus penerbitannya,” ujarnya, lantas tersenyum.
Jurnal kesehatan mental itu pun jadi. Ada dua produk jurnal kesehatan mental buah karyanya. Pada 10 Desember 2020, jurnal itu resmi diluncurkan. Chomsin memanfaatkan berbagai platform media sosial (medsos) sebagai media promosi jurnal tersebut.
Jurnal kesehatan mental itu terdiri dari dua produk. Produk pertama berisi jurnal kesehatan mental, kartu afirmasi, tato temporer, stiker kolaborasi karya ODGJ, dan stiker emoji.
Lalu, produk kedua berisi art journal atau jurnal seni. “Jadi. buku ini semacam panduan untuk menggambar. Ketika seseorang bingung mau menggambar apa, di jurnal itu saya beri ide. Nanti tinggal gambar saja,” bebernya.
Sejak dirilis pada akhir 2020 lalu, buku itu sudah terjual sekitar 100 buku dari total produksi pertama sebanyak 250 produk. Paket jurnal mentalhealth kit dijual Rp 439 ribu.
Menurut Chomsin, jurnal kesehatan mental itu ditujukan kepada masyarakat pada umumnya. Terlebih juga kepada mereka yang sedang mengalami gangguan kesehatan mental. “Yang pasti jurnal ini bisa untuk siapa pun. Terutama bagi orang-orang yang peduli terhadap kesehatan mental,” ujar pria ramah ini. (*/c1/ady)