KABUPATEN BLITAR – Banyaknya pengeluaran menuntut Khoirul Anam kreatif. Kepala Desa Salam, Kecamatan Wonodadi, ini menjadikan koi sebagai usaha sampingan. Sebab, menjadi pelayan masyarakat tak cukup bermodal gaji bulanan.
Sore itu adalah jadwal Khoirul Anam memberi makan koi peliharaannya. Sayangnya, hujan turun dengan intensitas tinggi sehingga dia terpaksa menunda rutinitasnya tersebut. “Sehari tiga kali saya jadwal kasih pakan, tapi gak apa-apa masih hujan,” ujarnya kepada Koran ini, kemarin (1/4).
Tidak banyak, dia memiliki lima kolam ikan koi. Masing-masing kolam memiliki umur koi yang berbeda. Tujuannya jelas agar masa panen lebih cepat. “Normalnya umur ikan yang siap dipanen itu 5-7 bulan. Jadi diusahakan setiap bulan ada yang panen,” akunya.
Ini bukan tanpa sebab. Khoirul sangat realistis. Menjadi kepala desa dua periode, dia sangat paham bagaimana tugas dan keuangan yang dimiliki kepala desa. Penghasilan tetap kepala desa tidak menentu pencairannya. Tak jarang dirapel. Padahal untuk operasional sehari-hari butuh uang cash.
Tak hanya itu, kepala desa juga menjadi jujukan undangan masyarakat. Mulai dari undangan kelahiran hingga kematian. Nominalnya memang tidak begitu besar, namun jika diakumulasi dengan kondisi keuangan kepala desa, hal itu cukup berat. “Makanya saya harus punya usaha sampingan untuk mencukupi kebutuhan, maupun mendukung aktivitas pelayanan,” ungkapnya.
Bapak dua anak ini belum lama berkecimpung dengan koi. Baru sekitar 4 tahun silam. Sebelum itu, Khoirul pernah budi daya gurami, lele, hingga patin. Bahkan jauh sebelum itu, dia juga pernah menjadi peternak ayam petelur. “Dari semua kegiatan itu, yang paling gampang adalah koi, juga lumayan hasilnya,” tuturnya.
Dia mengenang, awal 2002 lalu pihaknya sempat mengadu nasib menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Taiwan. Sekitar 3 tahun, dia menjadi buruh migran. Setelah memiliki cukup modal usaha, dia lantas membudidayakan ayam. “Tapi sekitar 2007, saya pilih tutup usaha itu, karena makin lama makin besar ruginya,” tutur pria ramah ini.
Dari lima kolam koi miliknya tersebut, Khoirul biasanya menerima tambahan pendapatan sekitar Rp 5 juta sampai Rp 10 juta.
Dia sangat jarang merugi. Sebab, dalam menjalankan budi daya ini dia menggandeng mitra usaha tertentu. Mitra tersebut yang menyuplai anakan sekaligus mengambil koi dewasa yang sudah siap dipasarkan.
Dalam kemitraan ini, juga sudah mengunci harga. Artinya, jauh sebelum panen, sudah ditentukan harga jualnya. Hal ini merupakan hal positif, karena penghasilannya jelas bisa langsung dihitung. “Cuma kadang ada koi tertentu yang sebenarnya memiliki harga jual tinggi. Bahkan bisa sampai sepuluh kali lipat dari nilai satuan kontrak. Tapi ya itu rezekinya mitra,” terangnya.
Biasanya dia membeli anakan dengan harga Rp 50 ribu per ekor. Lima bulan berikutnya, koi tersebut akan dipanen dan dihargai sekitar 150 ribu per ekor. Praktis, dengan skema kerja sama ini Khoirul hanya bertugas merawat dan membesarkan koi tersebut. “Prospek usaha koi masih sangat bagus. Kegiatan saya ini juga sekaligus memberi contoh untuk anak-anak muda di desa,” bebernya.
Jenis koi yang dibesarkan Khoirul cukup banyak. Mulai dari sowa, siro, sanke kohaku, dan lain-lain. Dia percaya masing-masing daerah di Kabupaten Blitar memiliki karakter yang berbeda dan menghasilkan koi yang khas. Kini dia juga sedang bereksperimen untuk melihat koi jenis apa yang paling bagus untuk dibudidayakan di wilayah Wonodadi. “Kandungan mineral dalam air tiap wilayah itu kan beda. Ini pengaruhnya untuk corak bodi dan warna koi sangat besar,” ujarnya. (*/c1/ady)