KABUPATEN BLITAR – Korban luka ringan dan berat akibat tragedi Kanjuruhan pada Sabtu (1/10) lalu, sebagian sudah diperbolehkan pulang. Salah satunya, Debora Anca, perempuan warga Kelurahan Bajang, Kecamatan Talun. Dia diizinkan pulang sejak Minggu (23/10). Meski begitu, kondisinya belum sepenuhnya pulih.
Ibu korban, Ester Andayaningtyas mengatakan, Debora sebelumnya menjalani perawatan intensif di RSUD Saiful Anwar, Malang, sejak Minggu (2/10). Kondisi kesehatan fisik, lanjut dia, terus membaik. Yakni, sudah bisa berkomunikasi. Pascakejadian, korban hanya kebingungan dan melamun. Pun, korban tidak memiliki selera makan.
“Sudah lebih baik. Tetapi memang ngomongnya hanya sedikit, terbata-bata. Berjalan pun tidak seperti dulu,” ungkapnya kemarin (25/10).
Ester mengaku, peristiwa kelam usai laga Arema FC kontra Persebaya itu membuatnya kecewa. Sebab, anak dan para suporter lainnya banyak yang menjadi korban. Bahkan, sampai meninggal dunia. Dia menyayangkan oknum petugas tidak bisa membuat suasana kondusif. Bahkan, pintu stadion terkunci saat suporter berdesakan ingin keluar.
Gas air mata yang kala itu ditembakkan oleh oknum kepolisian juga berdampak pada kedua mata Debora. Sklera mata yang normalnya berwarna putih berubah menjadi merah. Menurut dokter, lanjut dia, pembuluh darah di area tersebut pecah sehingga tampak bercak merah di selaput putih itu.
Saat di rumah sakit, lanjut Ester, hampir semua bagian mata Debora memerah. Namun, kemarin tampak pudar. Selain itu, kedua jari tangan perempuan berusia 20 tahun itu bengkak dan tak bisa digerakkan. Rasa trauma korban tidak parah seperti sebelumnya. Namun, tedapat penurunan pada sistem psikologis. Korban juga belum bisa mengingat kejadian yang menimpanya itu.
“Rencanannya besok (hari ini, Red) kembali ke rumah sakit, di Malang untuk jadwal kontrol. Semua dibiayai provinsi,” jelasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Kelurahan Bajang, Kecamatan Talun, Wawan Ernawan mengatakan, Debora menjadi salah satu dari belasan korban kerusuhan dari Bumi Penataran. Dia menyebut, sebelum kejadian, korban seperti remaja pada umumnya. Kondisi mental yang menurun diduga menjadi penyebab korban sulit berkomunikasi.
“Selama di Malang itu hanya diam saja. Tapi, saat sudah mau pulang bisa komunikasi. Sekarang jauh lebih baik,” tandasnya.
Untuk diketahui, pertandingan Arema FC menjamu Persebaya pada awal Oktober lalu menuai ricuh. Itu terjadi seusai dua derbi Jawa Timur itu berlaga. Parahnya, tembakan gas air mata dari oknum kepolisian menimbulkan korban. Di Bumi Penataran, tercatat lima korban meninggal dunia, tiga luka berat, dan belasan lainnya luka ringan. (luk/c1/wen)