KABUPATEN BLITAR – Sementara itu, di luar gedung DPRD Kabupaten Blitar, puluhan warga Desa Sidorejo, Kecamatan Doko, menenteng poster bertuliskan isu-isu miring seputar pengelolaan usaha perkebunan. Hal ini dilakukan karena keberadaan perkebunan Branggah yang ada di desa mereka tidak memiliki dampak positif untuk masyarakat.
Informasi yang berhasil dihimpun, perkebunan tersebut sudah beroperasi puluhan tahun. Namun, beberapa kewajiban tidak dilaksanakan. Misalnya, melakukan redistribusi tanah ketika mengajukan perpanjangan hak guna usaha (HGU) atau menyediakan perkebunan rakyat untuk meningkatkan ekonomi sekitar.
“Banyak kewajiban yang tidak dipenuhi. Parahnya lagi, pemerintah mengatakan fasilitasi kebun masyarakat ini tidak wajib. Ini statement yang kurang pas,” ujar konsultan hukum warga Desa Sidorejo, Suhadi.
Menurut dia, fasilitasi kebun masyarakat itu harus ditunaikan oleh pihak perkebunan. Sejalan dengan hal itu, pemerintah daerah wajib mengawasi. Mulai dari perencanaan, perizinan, hingga evaluasi kebun masyarakat.
BACA JUGA: Geger, Tanaman Penggarap Lahan Karangnongko Kembali Dirusak
Suhadi melanjutkan, luasan lahan yang dibutuhkan untuk kebun masyarakat ini tidak banyak. Hanya sekitar 20 persen dari total luas perkebunan. Padahal, separo lebih luas wilayah Desa Sidorejo ini masuk dalam pengelolaan perkebunan Branggah. “Masyarakat ini tidak mengemis lahan perkebunan, tapi pihak perkebunan yang merampas hak masyarakat,” katanya.
Pihaknya menyesalkan langkah pemerintah dalam menyikapi fenomena tersebut. Akibatnya, masyarakat beranggapan pemerintah daerah lebih berpihak kepada pengusaha ketimbang kepentingan warga. “Pak Camat yang harusnya membantu warga justru terkesan sebaliknya. Kami tidak mencari siapa yang salah, tapi apa yang salah dan bagaimana yang benar,” tuturnya.
Ketua Komisi I DRPD Kabupaten Blitar Muharam Sulistiono mengatakan, kasus yang terjadi di Desa Sidorejo, Kecamatan Doko, sudah lama terjadi. “Sesuai Undang-Undang 39 Tahun 2014, masyarakat menuntut haknya, yakni fasilitasi perkebunan masyarakat,” terangnya.
Menurut pengakuan warga, lanjut dia, hingga kini belum ada kontribusi perkebunan untuk masyarakat. Padahal, keberadaan usaha ini diharapkan bisa meningkatkan perekonomian, minimal masyarakat sekitar.
Politikus PDIP ini menyatakan, beberapa waktu DPRD memanggil pihak perkebunan. Namun, kala itu bukan masalah perkebunan masyarakat, melainkan persoalan redistribusi tanah. Menurut dia, hal itu tidak mungkin bisa direalisasikan. Sebab, proses perpanjangan HGU perkebunan tersebut belum lama diterbitkan. “HGU perkebunan diperpanjang 2017. Kalau perkebunan masyarakat ini berbeda,” terangnya.
Disinggung langkah yang akan dilakukan, Sulis mengaku hanya bisa mendorong pemerintah daerah agar memfasilitasi kepentingan masyarakat tersebut. Di sisi lain, persoalan perkebunan masyarakat ini tidak bisa dituntaskan di tingkat daerah. Sebab, yang menerbitkan izin HGU perkebunan adalah Kanwil BPN Jawa Timur. “Mungkin yang bisa kami lakukan adalah bareng-bareng ke Kanwil BPJ Jatim guna menanyakan proses untuk merealisasikan hak warga tersebut,” tandasnya. (hai/c1/wen)