TULUNGAGUNG – Luwesnya penari tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, harus berhadapan dengan modernisasi yang kini sedang merambah tanah air.
Menurut sang maestro penari Indonesia, Didik Nini Thowok, modernisasi merupakan tantangan terbesar penari tradisional. Padahal tarian tradisional harus terus dilestarikan.
“Sekarang banyak yang berminat ke tari modern, lalu yang meneruskan tari tradisional siapa? Boleh mengikuti modern, namun jangan melupakan akar budaya tradisi sendiri. Harus diimbangi,” tutur Eyang Didik ketika ditemui dalam acara workshop Kepenarian di Tulungagung yang digelar Sanggar Seni Candra Mustika, Minggu (11/6) lalu.
Dia berharap jika penari kini tetap harus melakukan dan belajar tari tradisional di Indonesia. Sehingga bisa ikut melestarikan serta merasa memiliki tanggungjawab dan kesadaran untuk memiliki budaya ini atau handarbeni. Sehingga jika memiliki perasaan tersebut, para penari ada tanggungjawab untuk memelihara.
Syukurnya, dari pandangan Didik banyak daerah-daerah hingga kini yang masih mempertahankan seni tradisional termasuk tarian-tarian. Namun sangat diperlukan dukungan dari pemerintah daerah hingga pusat, agar dapat saling bersinergi dan saling membantu. Apalagi pemerintah dapat memberikan fasilitas-fasilitas untuk menunjang kemajuan tari tradisional.
“Dukungan pemerintah terutama dari Dirjen kebudayaan. Karena saya sebagai komite juri Fasilitas Bidang Kebudayaan (FBK) 2022 banyak menerima proposal yang unik dari daerah Indonesia bagian timur,” terang pria 68 tahun ini.
Penari yang kini terkenal dengan sebutan DNT ini berpesan jika penari tidak sekedar menari mengikuti irama atau gerakan yang berenergi. Namun, mereka juga harus mengerti konsep menari dengan wirogo, wiromo dan wiroso. Menari dengan penjiwaan penuh ini termasuk dalam konsep wiroso. Diperlukan pendalaman dan latihan dalam proses tersebut.
Penjiwaan sangat dibutuhkan dalam setiap pementasan sebuah tarian, bahkan dia mencontohkan langsung kepada para penari tradisional yang ikut workshop-nya bagaimana penjiwaan dalam menari. Jika menari penuh dengan penjiwaan, dapat dengan mudah mengendalikan wajah dari berbagai ekspresi. Sekalipun penjiwaan dalam menari memakai topeng, dia tunjukan langsung dihadapan para peserta yang mengikuti workshop.
Menurut dia, ada ungkapan menari tidak perlu bagus, tapi yang terpenting menari dengan penuh penjiwaan. Sehingga jika telah menjiwai dalam menari, gerakan dan ekspresi apapun akan mengikuti dengan sendirinya.
Ketika disinggung perihal cross gender, Didik meyakini banyak penari yang memiliki keahlian tersebut. Dia menyemangati jika pelaku seni tersebut jangan takut berekspresi, karena tidak ada aturan untuk melarang seniman itu.
“Cross gender bukan sebuah kriminal atau hal yang menyalahi. Karena dalam konteks budaya, seni cross gender telah ada dari dulu. Bahkan cross gender merupakan salah satu cabang seni asli nusantara,” pungkasnya.(jar)