KABUPATEN BLITAR– Penggunaan limbah karet dalam proses produksi gula PT Perkebunan dan Dagang Gambar berbuntut panjang. Pemerintah daerah ancam membekukan izin jika persoalan polusi itu tidak segera ditangani dengan baik.
Kabid Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Blitar, Zainal Qolis mengatakan, beberapa orang perwakilan perusahaan yang memproduksi gula itu memenuhi panggilan DLH. Persoalan polusi menjadi salah satu poin pembahasan dalam pertemuan tersebut.
“Tadi kami sudah sampaikan, kalau dalam dokumen tidak ada (penggunaan limbah karet dalam proses produksi, Red), otamatis tidak boleh digunakan,” ujarnya kemarin (14/3).
Menurut dia, pemerintah memang tidak membatasi aktivitas usaha. Termasuk bahan-bahan yang digunakan dalam proses produksi usaha tersebut. Kendati begitu, bukan berarti bebas menggunakan material, khususnya limbah yang dapat memicu pencemaran lingkungan. “Kalau memang mau menggunakan itu (limbah karet, Red), tidak serta merta bisa langsung dimanfaatkan, ada prosesnya (pengolahan limbah, Red) sebelum dimanfaatkan,” ujarnya.
Zainal melanjutkan, pemanfaatan limbah karet sebagai bahan produksi tidak tepat. Indikasinya, asap menjadi lebih pekat dan meresahkan warga sekitar. Karena itu, sebelum memanfaatkan limbah karet sebagai komponen bahan bakar, harus diikuti dengan langkah pencegahan pencemaran lingkungan.
Karena alasan tersebut, pemerintah daerah melalui DLH sudah memberikan beberapa penekanan kepada perusahaan tersebut. Mulai melakukan penyesuaian dokumen, uji kualitas air dan udara, hingga pembenahan cerobong asap pabrik gula tersebut. “Kami beri deadline pemebenahan cerobong ini 60 hari,” jelansya.
Pihaknya juga lugas membeberkan sejumlah sanksi yang bisa saja diberikan kepada perusahaan, ketika tidak mengindahkan persoalan yang memicu pencemaran lingkungan. Tidak hanya sekadar sanksi paksaan pemerintah, sanksi berupa pencabutan izin bisa diberikan. “Kalau sudah diingatkan, dibina, dan diberi waktu tidak dilaksanakan tentu akan ada sanksi,” ucapnya.
Urutan pemberian sanksi itu dimulai dari pemberian sanksi paksaan pemerintah, pembekuan atau pemberhentian sementara. Terakhir adalah pencabutan izin usaha. “Ini menjadi kewenangan daerah, karena dokumennya yang menerbitkan pemerintah daerah,” kata Zainal lagi.
Asisten Direktur PT Perkebunan dan Dagang Gambar Markuwat membenarkan adanya beberapa petunjuk dari DLH terkait aktivitas usaha pengolahan tebu itu. Salah satunya perihal penggunaan limbah karet sebagai bahan bakar industri. “Petunjuk dari DLH ini akan kami tindaklanjuti,” tuturnya.
Ditanya soal cerobong asap, Markuwat mengaku ketinggan cerobong tersebut sekitar 14 meter. Artinya, sudah jauh lebih tinggi dari bangunan yang ada di sekitar pabrik. Namun, karena ada standar tertentu terkait dengan ketinggian cerobong industri, pihaknya bakal melaporkan petunjuk DLH ini kepada pimpinan perusahaan. “Sebenarnya sebelum ini sudah kami tinggikan, tapi petunjuk DLH sudah kami laporkan, tentu akan segera disikapi,” tandasnya. (hai/wen)