KABUPATEN BLITAR – Ibarat penyakit, kondisi peternakan di Bumi Penataran utamanya peternak ayam petelur kian kronis. Bahkan, tak sedikit peternak yang masih berjibaku dengan hutang bank meski mereka sudah tutup usaha. Tak pelak hal itu menyulut keprihatinan wakil rakyat.
Kemarin (22/2), jajaran Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Blitar turun langsung memantau kondisi peternak. Salah satunya di wilayah Kecamatan Kademangan. Di lokasi itu wakil rakyat mendengar keluhan, menampung aspirasi, dan bakal menindaklanjutinya dengan beberapa langkah strategis sesuai kewenangan.
Ketua DPRD Kabupaten Blitar Suwito Saren Satoto menyatakan, kunjungan tersebut merupakan salah satu support moral kepada para peternak di Kabupaten Blitar. Dengan kata lain, dewan akan senantiasa mengawal kepentingan masyarakat tak terkecuali peternak.
“Kami juga mengajak semuanya untuk gemar makan telur (gemalur). Selain berprotein tinggi dan baik untuk tubuh, kampanye makan telur ini sekaligus mendukung dunia peternakan di Kabupaten Blitar,” ujarnya.
Menurut dia, selama ini pemerintah daerah juga sudah berupaya optimal mendukung aktivitas peternakan. Salah satunya dengan memanfaatkan produk lokal untuk memenuhi kebutuhan. Begitu juga telur yang notabene menjadi salah satu produk unggulan daerah. “Di instansi pemerintah, setiap kali rapat pasti ada telur. Nah, ini juga bagian dari membudayakan gemar makan telur,” katanya.
Untuk diketahui, harga jual telur kini terpaut jauh jika dibandingkan dengan biaya produksi. Akibatnya, tiap bulan para peternak di Kabupaten Blitar merugi. Kondisi itu sudah berlangsung sejak awal pandemi korona. “Itungan kasar, untuk peternak yang punya 5.000 ekor minusnya sekitar Rp 10 juta per bulan. Yang punya 50.000 ekor, minusnya Rp 100 juta per bulan,” kata Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN), Roffi Yasifun.
Kini, lanjut Roffi, peternak juga terus mengurangi populasi ternak. Sejalan dengan hal itu, puluhan pekerja di lingkungan peternakan ayam petelur sudah dirumahkan tiap bulan. Hal ini terpaksa dilakukan untuk mengurangi beban produksi. “Itu masih tidak cukup. Kami kini tidak enak makan dan tidur karena ingat tanggungan di perbankan,” ungkapnya.
Ada beberapa faktor yang dinilai sebagai pemicu atau memperkeruh kondisi peternak. Misalnya, bantuan sosial dari pemerintah kini tidak lagi dalam bentuk barang melainkan uang tunai. Akibatnya, ruang gerak pemerintah daerah untuk membantu peternak juga sangat terbatas.
Roffi juga menyebut, peternak kecil kian terpuruk dengan adanya investasi besar dalam dunia peternakan. Perusahaan besar bidang peternakan kini tidak hanya sebagai penyuplai pakan dan anakan. Namun juga mengedarkan telur yang secara otomatis memengaruhi pasar.
“Kami berharap pemerintah daerah melindungi peternak kecil, misalnya dengan moratorium untuk peternakan besar,” harapnya.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Blitar Mujib mengatakan, salah satu pemicu utama kondisi ini adalah tidak adanya batasan produksi anakan. Akibatnya, telur yang beredar di pasaran melampaui kapasitas penyerapan. Dampaknya muncul persaingan harga pasar. “Menurut kami, salah satu alternatifnya adalah dengan mengendalikan populasi. Indukan yang menghasilkan telur doc harus dibatasi,” katanya.
Selain itu, lanjut Mujib, harus ada kebijakan khusus yang dapat mengampu kepentingan para peternak. Tidak hanya untuk wilayah Blitar, namun juga bisa dijadikan pedoman untuk peternak di daerah lain. Pasalnya, integrator atau pelaku usaha besar bisa saja membuang produk breeding mereka keluar daerah. Akibatnya, populasi ternak dan telur tidak terkendali. “Jadi ini bukan hanya kepentingan daerah, tapi sudah nasional, karena percuma jika kami buat regulasi ketat tapi daerah lain tidak demikian. Integrator pasti punya plasma atau jaringan peternak di luar daerah,” jelasnya.
Legislatif juga berjanji akan berupaya optimal untuk melindungi para peternak di Kabupaten Blitar. Baik melalui jalur kelembagaan maupun jalur lain yang memungkinkan untuk meringankan beban yang kini dirasakan. (hai/c1/wen)