TULUNGAGUNG– Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang, rawan potensi terjadinya pelanggaran money politic atau politik uang. Pada era serba digital ini, pelanggaran tersebut dimungkinkan terjadi, baik secara konvensional dengan memberikan uang secara langsung atau beralih menggunakan e-money dengan menyasar pemilih pemula.
Koordinator Divisi Hukum Penyelesaian Sengketa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Tulungagung, Pungky Dwi Puspito mengatakan, selama pelaksanaan pemilu, pelanggaran jenis money politic rawan terjadi. Hal tersebut sering dilakukan dengan tujuan untuk memengaruhi perolehan suara pada pemilu. Hal ini tentunya melanggar hukum mengingat praktik tersebut melanggar asas jujur dan adil (jurdil). Diketahui, pada tahun-tahun sebelumnya, politik biasa dilakukan pada masa tenang pemilu dengan cara mendatangi masing-masing pemilih untuk memberinya uang agar memberikan suara terhadap calon tertentu. ”Namun pada zaman serbadigital ini, diyakini pelaksanaan politik bisa saja mulai mengikuti perkembangan zaman, yakni memanfaatkan e-money,” jelasnya kemarin (5/12).
Pemanfaatan e-money sebagai media politik uang tentu memiliki peluang besar untuk benar-benar diaplikasikan. Sebab, pada Pemilu 2024 mendatang akan ada banyak pemilih pemula yang mayoritas merupakan generasi milenial atau gen Z. Mereka tentu akan rentan menjadi sasaran politik uang. Pasalnya, mereka belum terlalu mengenal dunia politik dan hanya memilih untuk menggugurkan kewajibannya, atau bahkan mengikuti arahan dari orang tua. Secara otomatis, para pemilih pemula ini akan dengan mudah terpengaruh dan menggunakan hak pilihnya sesuai kehendak pelaku pemberi money politic tersebut. ”Kami rasa money politic dengan media e-money justru akan menyasar pemilih pemula, karena mereka lebih paham dengan teknologi. Tak hanya itu, kondisi pemilih pemula ini sangat rentan karena belum mengenal dunia politik,” paparnya.
Berdasarkan pemilu sebelumnya, pengawasan terhadap praktik money politic dilakukan dengan menggandeng petugas penegak hukum. Secara teknis, pihaknya akan langsung mendatangi lokasi yang diduga terjadi praktik politik uang tersebut. Nanti baik pelaku maupun masyarakat yang menerima politik uang itu bisa mendapatkan sanksi berupa pidana selama maksimal 24 bulan. Dikarenakan masih banyak waktu, maka Bawaslu berupaya untuk melakukan pencegahan politik uang baik secara konvensional maupun modern dengan menggunakan e-money. Sosialisasi tersebut akan masif dilakukan pada saat tahapan kampanye menjelang Pemilu 2024. Karena itu diharapkan para pemilih pemula bisa tegas menolak praktik money politic. ”Karena politik uang menggunakan e-money itu merupakan hal baru, maka akan kami koordinasikan dengan Bawaslu provinsi dan Bawaslu RI untuk membuat aturan soal larangan itu,” ungkapnya.
Disinggung soal peta kerawanan politik uang di Tulungagung, dia mengaku banyak sekali tempat-tempat rawan yang dimungkinkan terjadi politik uang sehingga dapat memengaruhi suara dari para pemilih. Di antaranya seperti menyasar organisasi apa pun, komunitas, tempat nongkrong, bahkan warung kopi. Mengingat, di Tulungagung sendiri banyak kelompok maupun tempat nongkrong yang dimungkinkan bisa disusupi oknum untuk melakukan praktik politik menjelang pemilu. Tempat-tempat tersebut akan menjadi perhatian tersendiri bagi Bawaslu Tulungagung demi mencegah praktik politik uang selama pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang. ”Kalau lokasinya, kami rasa di seluruh wilayah di Tulungagung rawan. Kita lihat saja, komunitas, organisasi, tempat nongkrong atau warung kopi kan jumlahnya banyak dan mudah dijumpai di Tulungagung. Kondisi ini sangat rawan,” tutupnya. (mg2/c1/din)