KABUPATEN BLITAR – Sejak dua tahun terakhir, Eka Ramadhani Setiawan gandrung dengan Rusia. Tidak hanya belajar bahasa dan berteman dengan remaja di sana. Namun, warga Desa Papungan, Kecamatan Kanigoro, ini juga mampu bersaing dan menjadi juara desain photoshop yang juga diikuti oleh pelajar di negera Eropa Timur itu.
Rendra Setiawan dan Diah Setiawan tampaknya harus merogoh kocek lebih untuk urusan pendidikan anaknya. Betapa tidak, si sulung, Eka Ramadhani Setiawan menunjukkan ketertarikannya untuk menempuh pendidikan di Rusia.
Beberapa tahun terakhir, Rama-sapaan akrab Eka Ramadhani- sudah belajar banyak hal terkait Negeri Beruang Putih ini. Mulai dari bahasa, seni, hingga kampus-kampus ternama yang rencananya menjadi jujukan untuk kuliah.
Bukan karena gadis atau senjata nuklir yang membuatnya tertarik dengan Rusia. Awalnya, dia hanya penasaran, karena Rusia merupakan negara super power yang mampu bersaing dengan negara besar lainnya. Dari sini, dia penasaran dan lantas mencari tahu semua hal tentang Rusia. Lambat laun, dia pun bercita-cita untuk sekolah di sana. “Pinginnya begitu,” ucapnya sembari menoleh kepada sang ibu yang duduk di sebelahnya, kemarin (13/3).
Saat ini, Rama juga sudah memiliki puluhan teman yang secara tidak langsung menjadi guru untuk memperlancar bahasa Rusia nya. Tak hanya itu, Rama juga mulai mengikuti beberapa event dan lomba yang digelar di negara tersebut, meski dilakukan secara daring. “Sebenarnya iseng-iseng saja ikut lomba photoshop, eh malah juara. Yang ngasih tau ada event juga temen-temen di sana,” tuturnya.
Dari event ini, Rama mendapatkan beberapa apresiasi. Namun yang paling penting baginya adalah link template untuk mendukung kegiatan desain. Dia bisa mengakses link dan mengunduh gambar maupun ikon lain dari situs tersebut secara gratis. Padahal, umumnya untuk mendapatkan satu gambar atau template dari link ini membutuhkan ratusan ribu rupiah.
Capaian ini, menurut dia, lebih dari cukup, terlebih dia bukan seorang ahli dalam editing gambar dan video. Sebaliknya, dia masih pemula, karena memang belum lama belajar aplikasi ini.
Kendati begitu, remaja 18 tahun ini tampaknya memiliki bakat dalam seni. Indikasinya, meski baru belajar tapi mampu bersaing dengan remaja lain dari beberapa negara yang mengikuti event atau lomba desain tersebut. “Sebenarnya juga gak yakin menang, karena baru belajar editing itu November tahun lalu, jadi belum ada setengah tahun,” akunya, lantas tertawa.
Salah satu hal yang membuatnya pesimistis adalah deadline waktu yang singkat. Dia dituntut menyelesaikan pekerjaan desain tersebut dalam waktu 6 jam. Padahal untuk membuat karya seni juga harus memperhatikan kondisi psikologis. “Kalau pada tahap 16 besar masih enak, ada waktu sekitar 14 jam, tapi mendekati final waktunya kian mepet,” bebernya.
Tak hanya itu, dia juga wajib mempresentasikan karyanya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri. Meski sudah cukup paham dengan bahasa Rusia, kalimat yang sering kali digunakan adalah bahasa percakapan biasa. Artinya, dia masih sangat kaku ketika harus menggunakan kalimat-kalimat baku, terlebih di hadapan para juri. “Untungnya daring, kalau offline pasti tambah grogi,” ungkapnya.
Maklum saja, selama ini dia belajar bahasa Rusia secara otodidak. Aplikasi bahasa adalah guru pertamanya. Usai memiliki pengetahuan dasar kosakata, dia lantas mencari media sosial yang bisa menghubungkannya dengan orang-orang Rusia. Dari sinilah, dia lantas mendapat beberapa orang rekan yang terus bertambah hingga kini.
Selain merambah jaringan, orang-orang Rusia ini sekaligus menjadi gurunya untuk memperlancar berbahasa Rusia. “Untuk dapat kontak orang-orang Rusia ini cukup sulit, karakternya memang beda dengan kita,” terangnya. (*/c1/ady)