BLITAR – Krupuk sermier sudah cukup dikenal di Blitar Raya. Camilan ringan itu masih diburu sebagian masyarakat. Sejak pandemi Covid-19 mendera, produksi kerupuk sermier terus berjalan. Meski penjualan turun drastis.
Salah satu produsen kerupuk sermier berada di Desa Papungan, Kecamatan Kanigoro. Pemiliknya adalah Martiah. Sudah sekitar 15 tahun menggeluti usaha pembuatan kerupuk tersebut.
Perempuan yang akrab di sapa Mak Tik itu memproduksi kerupuk sermier hampir setiap hari. Namun sejak pandemi, jumlah produksi kerupuk berbahan baku singkong itu menurun. “Dulu sehari bisa 1 kuintal. Tetapi, kini turun 60-70 kilogram,” ujar Martiah, kemarin (21/1).
Penurunan produksi itu memang karena dampak pandemi Covid-19. Saat itu ada kebijakan pembatasan sosial. “Akibat pembatasan itu tidak bisa kirim lagi ke luar daerah, bahkan luar pulau. Waktu itu saya bisa kirim sampai Kalimantan,” terangnya.
Mesti terdampak, Martiah berupaya bertahan. Produksi sermier tetap berjalan meskipun tidak senormal dulu. Pasar lokal masih bisa berjalan. “Kami masih ada pelanggan lokal. Meski pandemi, permintaan tetap ada meski menurun,” jelas perempuan 57 tahun itu.
Untuk membuat sermier, Mak Tik membutuhkan bahan utama berupa singkong. Bahan baku itu selama ini didapat dari wilayah Blitar. Rata-rata sekali produksi butuh sekitar 100 kilogram singkong.
Mak Tik menjual kerupuk seharga Rp 6 ribu per bungkus. Biasanya, dia menjual kerupuk dalam satu ikat. “Satu ikat saya hargai Rp 40 ribu, berisi 10 bungkus. Tetapi, sejak harga minyak goreng (migor) naik, harga sermier saya naikkan menjadi Rp 45 ribu,” tandasnya. (sub/c1/dfs/wen)