TRENGGALEK – Pemkab Trenggalek harus bekerja sama dengan pihak kantor keimigrasian untuk menyelesaikan permasalahan keimigrasian di wilayahnya. Pasalnya, permasalahan keimigrasian di Bumi Menak Sopal sangatlah komplek.
Seperti yang dialami oleh tiga anak hasil perkawinan campuran yang saat ini tinggal di wilayah Kecamatan Kampak. Sebab, jika tidak segera diurus mereka terancam dideportasi. Kalaupun terjadi, mereka terancam tidak dapat tempat tinggal lantaran sang ayah yang berstatus warga negara Taiwan sudah meninggal, serta keluarganya di sana tidak mau mengakuinya.
“Karena itu, kami terus berkoordinasi dengan berbagai pihak yang tergabung dalam tim pengawas orang asing, termasuk di Trenggalek yang menjadi wilayah kerja,” ungkap kepala Kantor Imigrasi Kelas II non TPI Ponorogo, Pardemuan Sebayang.
Dia melanjutkan, apalagi kebanyakan masalah keimigrasian terkait peristiwa kawin campur. Sebab, biasanya status kewarganegaraan hasil dari perkawinan tersebut (anak, Red) selalu jadi permasalahan. Berdasarkan peraturan yang ada, status kewarganegaraan anak tersebut harus mengikuti status kewarganegaawan sang ayah. Dengan kata lain, ketiga anak tersebut memegang paspor Taiwan. Sedangkan untuk proses menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) bisa dilakukan jika memenuhi persyaratan seperti apa yang ada pada Undang-Undang (UU) nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian. “Karena itu perlu dilakukan sharing informasi, serta untuk persoalan tersebut berkat koordinasi yang dilakukan telah mendapatkan titik temu,” ungkapnya.
Hal tersebut diakui Bupati Trenggalek Moch. Nur Arifin. Dia menambahkan, berdasarkan hasil koordinasi yang dilakukan telah ditemukan solusi, yaitu pemkab dan kantor keimigrasian akan memfasilitasi pengurusan izin tinggal sementara bagi ketiga anak tersebut sehingga mereka bisa tetap berada di Trenggalek secara legal. Dari situ nanti akan diluruskan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), yang diteruskan dengan Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP). Adapun status ketiga anak tersebut untuk beralih menjadi warga negara Indonesia (WNI), harus mengikuti prosedur dan tahapan sesuai regulasi yang telah ditetapkan. “Saya berjanji akan melakukan pendampingan terkait hal itu,” katanya.
Dengan demikian, setelah lima tahun ke depan (sekitar 2027, Red) pemkab akan mengusulkan alis status mereka sebagai WNI. Dari seluruh proses tersebut total diperlukan biaya sekitar Rp 61 juta. Nantinya biaya tersebut akan dibantu pemkab, mengingat keluarga yang bersangkutan tidak memiliki kekuatan finansial. “Mereka termasuk kelompok rentan sehingga menjadi tanggung jawab kami. Sedangkan untuk keperluan pendidikannya, mereka telah mendapatkan akses pendidikan seperti anak-anak sebayanya lainnya,” imbuh Ipin. (jaz/c1/rka)