KOTA BLITAR – UPT Perpustakaan Proklamator Bung Karno tak sekadar tempat yang nyaman untuk membaca buku. Lebih dari itu, perpustakaan nasional tersebut juga ikut berperan aktif berbagi ilmu untuk menyejahterakan masyarakat.
Seperti terlihat kemarin (10/6), Perpustakaan Proklamator Bung Karno menggelar Literasi Hasta Karya. Nah, Literasi Hasta Karya kali ini adalah merajut. Uniknya, peserta yang berjumlah sekitar 100 orang itu mayoritas siswa sekolah dasar. Meski begitu, mereka terlihat bersemangat mengikuti pelatihan di Amphiteater Perpustakaan Proklamator Bung Karno tersebut.
Narasumber dalam kegiatan itu adalah Nur Laely Saadah, dari komunitas rajut Blitar. Dia banyak memberikan ilmu kepada para peserta tentang merajut. “Belajar mulai dasar merajut. Pengenalan alat, benang, serta membuat rantai atau chain,” ujarnya.
Dia mengatakan bahwa pengenalan dasar merajut cukup penting. Anak-anak bisa mengenal sejak awal. Untuk peserta dari kalangan dewasa yang kebetulan para ibu, sudah lumayan bisa. “Ibu-ibu membuat ikat rambut, sedangkan anak-anak karena masih pengenalan, membuat chain,” katanya.
Wanita ramah itu melanjutkan, merajut tak hanya mengikat benang. Namun, ada manfaat lain di balik itu. Utamanya terhadap anak-anak usia sekolah dasar. Di antaranya, merangsang kreativitas, memancing rasa ingin tahu, serta untuk keseimbangan otak. “Jadi tak sekadar mengaitkan benang, tapi juga untuk keseimbangan motorik dengan hitung-hitungan,” jelasnya.
Pantauan di lokasi, para peserta Literasi Hasta Karya terlihat antusias. Sejak narasumber memulai kegiatan, yakni pengenalan peralatan hingga mulai membuat chain, semua bersemangat. Semua kegiatan tersebut full praktik. Narasumber mendampingi langsung para peserta. Anak-anak cukup banyak yang kesulitan. Namun, mereka tetap berusaha. Anak-anak tak segan bertanya langsung kepada narasumber ataupun guru yang mendampingi. Sampai akhirnya ada yang bisa merajut meski tak sempurna.
Bian, salah seorang peserta mengaku senang bisa belajar merajut. Meski sulit, dia tetap berusaha. Sebab, itu merupakan pengalaman baru baginya. “Sulit mengaitkan benangnya, tapi asyik,” ungkap siswa MI Perwanida itu.
Begitu juga dengan Katrina. Meski sulit, dia akhirnya bisa membuat chain. “Baru kali pertama belajar merajut. Walaupun sulit, tapi kalau terus dicoba pasti bisa,” katanya.
Pelatihan merajut tersebut juga sebagai bukti nyata. Yakni, perpustakaan bertransformasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Model transformasi yang kini dikembangkan adalah perpustakaan berbasis inklusi sosial. Yakni, menjadikan program penguatan literasi untuk kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. (han/her/c1/wen)