Tulungagung – Belakangan ini sedang heboh perihal resesi ekonomi yang akan terjadi di tahun 2023 mendatang. Hal tersebut membuat masyarakat merasa waswas untuk menyambut datangnya tahun akan datang. Jangan telan mentah-mentah pembahasan yang beredar tersebut.
Pengamat ekonomi, Deny Yudiantoro mengatakan, tahun depan digadang-gadang sebagai tahun gelap lantaran diprediksi akan adanya resesi ekonomi. Resesi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan perputaran ekonomi suatu negara berubah menjadi lambat atau justru buruk. Perputaran ekonomi yang melambat ini bisa berlangsung lama bahkan tahunan, akibat dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) suatu negara menurun selama dua kartal dan berlangsung secara terus-menerus. “PDB sendiri dapat diartikan sebagai aktivitas ekonomi suatu negara selama satu periode. Jadi, apabila suatu negara mengalami aktivitas ekonomi yang turun secara terus-menerus selama dua periode, maka negara tersebut dapat dikatakan resesi,” jelasnya kemarin (9/11).
Terdapat beragam penyebab yang menjadi faktor pemicu terjadinya resesi pada suatu negara. Pertama yaitu inflasi, kondisi naiknya harga secara terus-menerus, baik itu harga barang maupun jasa. Adanya kenaikan harga ini berimbas pada melemahnya daya beli masyarakat yang nantinya diikuti juga dengan penurunan produksi barang dan jasa. “Jika dibiarkan dalam waktu lama, hal ini akan mengakibatkan tingginya angka pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal, kemiskinan, dan terjadi resesi,” ucapnya.
Faktor penyebab resesi kedua yakni pandemi. Musim pagebluk yang melanda Indonesia dan negara-negara lain mengakibatkan terjadinya pemberhentian berbagai aktivitas, termasuk bisnis. Sebab, banyak negara melakukan lock down serta Indonesia juga melakukan PSBB dan PPKM yang berefek pada perputaran bisnis melambat. “Dengan berhentinya aktivitas bisnis, maka banyak sekali terjadi pemutusan hubungan kerja sehingga masyarakat tidak mempunyai kemampuan daya beli untuk membeli sebuah produk. Rendahnya daya beli masyarakat tersebut, jika terjadi dalam kurun waktu lama juga akan mampu memicu terjadinya resesi,” paparnya.
Faktor penyebab berikutnya yaitu pecahnya gelembung aset. Hal ini bisa terjadi saat investor mengambil langkah secara gegabah. Misal, terjadi pembelian saham dan properti secara masif dengan anggapan harganya akan naik dengan cepat. “Lalu, saat keadaan ekonomi sedang goyah, mereka akan beramai-ramai menjualnya sehingga mengakibatkan terjadinya panic selling dan berujung pada resesi akibat rusaknya pasar aset,” ungkapnya.
Kemudian, yang terakhir akibat guncangan ekonomi secara mendadak. Ini ditandai dengan menurunnya daya beli yang disebabkan kesulitan finansial serta masalah serius lainnya, misal tumpukan utang. “Utang menumpuk akan memengaruhi pembekakan bunga yang perlu dibayarkan dan berujung pada ketidakmampuan untuk melunasinya atau gagal bayar,” ucapnya.
Bila terjadi, resesi ekonomi membawa dampak berat bagi pemerintah. Saat kondisi ini terjadi, angka pengangguran tentu akan meningkat dan pemerintah dituntut untuk membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Alhasil, pinjaman pada bank asing kian meroket. Adanya resesi juga membuat pendapatan pajak dan nonpajak menjadi lebih rendah. Itu dikarenakan kondisi finansial masyarakat yang memburuk dan harga properti ikut turun. “Sehingga jumlah PPN (pajak pertambahan nilai) yang masuk ke kas negara menjadi lebih sedikit. Di sisi lain, pemerintah terus didorong untuk melakukan pembangunan di sektor pemerintahan. Salah satunya menjamin kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.
Dengan negara yang mengalami defisit anggaran, utang pemerintah menjadi lebih tinggi. Itu diakibatkan menurunnya daya beli masyarakat yang berimbas pada penurunan pendapatan perusahaan dan mengancam arus kas. Pada akhirnya, perusahaan akan memangkas biaya operasional dan menutup area bisnis kurang menguntungkan. “Sampai dengan mengambil keputusan berat untuk melakukan efisiensi pegawai,” paparnya.
Dampak resesi adalah dampak yang tidak hanya dirasakan pemerintah dan perusahaan, tetapi para pekerja juga turut terkena imbasnya. Area bisnis yang ditutup serta efisiensi pegawai dilakukan untuk menekan biaya operasional membuat banyak orang kehilangan pekerjaan akibat adanya PHK. Pekerja tidak terkena PHK pun ikut dirugikan dengan pemotongan upah. “Hal ini menjadi pendorong adanya ketidakstabilan sosial, kesenjangan semakin menjamur di mana-mana, dan tingkat kriminalitas tinggi,” ungkapnya.
Pencegahan resesi adalah dengan memperkuat daya beli. Strategi bisa diterapkan dengan belanja besar-besaran agar perputaran ekonomi tidak macet dan dunia usaha tergerak terus berinvestasi. Resesi adalah krisis yang bisa terjadi pada banyak sector, salah satunya UMKM. Dengan menyalurkan bantuan terhadap UMKM berupa UMKM produktif dan kredit bunga rendah, roda perputaran ekonomi diharapkan dapat berjalan dengan baik. “Selain kedua hal itu, cara pencegahan resesi adalah dengan membuat kebijakan yang efektif dan diharapkan mampu menarik para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan begitu, nantinya bisa tercipta lapangan kerja agar perputaran ekonomi lebih baik lagi,” ucapnya.
Jangan menelan mentah-mentah informasi perihal ramainya pembahasan mengenai resesi ekonomi yang akan terjadi di tahun 2023 mendatang. Sebab, tidak sedikit dari informasi tersebut justru menakut-nakuti tanpa memberikan edukasi tepat, khususnya bagi masyarakat awam. Fenomena ini umumnya dikenal sebagai fear mongering. Yaitu, suatu tindakan individu atau kelompok tertentu yang dengan sengaja memanfaatkan kerentanan orang lain terhadap suatu hal yang berisiko. “Alhasil, orang yang merasa cemas atau takut akan semakin ketakutan,” tutupnya. (mg2/c1/din)