TRENGGALEK – Kemunculan pandemi Covid-19 dua tahun lalu memang membuat perekonomian lesu. Namun di tengah ruang gerak yang terbatas karena adanya kebijakan pembatasan, Endah Triananda justru menemukan usaha casing ukir dan sampai kini terus berkembang.
JIWA seni telah merasuk ke diri Endah Triananda. Cewek asal Desa Gayam, Kecamatan Panggul itu menyukai aktivitas menyulap benda biasa menjadi lebih estetik. Benda itu berbahan dasar kayu yang kemudian diubah menjadi pengaman handphone ukir.
Proses pembuatan casing ukir itu memakan waktu cukup lama. Biasanya, pembuatan untuk satu casing sampai seminggu. Tak heran, proses yang paling memakan waktu adalah tahap pengukiran. Karena tahap ini membutuhkan ketelitian, kejelian, konsentrasi, dan ketelatenan.
Endah tidak merasa terbebani dengan segala konsekuensi menjadi pengrajin ukir. Biarpun proses pengerjaan sampai tiga jam dalam sehari, Endah tetap menikmati tiap detail prosesnya. Dan tentunya estetik tidak punya batasan. Estetika itu akan muncul ketika sudah merasa puas.
Kemunculan pandemi Covid-19 pada 2020 menjadi awal Endah merintis profesi pengrajin ukir. Cewek kelahiran 2002, itu mendapat inspirasi dari calon suaminya. “Belajar ukir mulanya dari bapak dan calon suami. Tapi selebihnya, saya improvisasi sendiri,” ucap alumni SMK Islam Panggul tersebut.
Sudah banyak casing ukir yang tercipta dari kedua tangan Endah. Dan, tidak ada batasan model casing ukir. Selama usaha, Endah sebisa mungkin untuk merealisasikan permintaan casing dari para konsumennya.
Namun begitu, proses pembuatan casing ukir yang memakan waktu cukup lama itu, tidak selalu memberikan kesan mahal. Produk-produk kerajinan casing ukir milik Endah itu lebih terjangkau, karena dibanderol mulai Rp 75 ribu-Rp 100 ribu. Perbedaan harga itu tergantung dengan tingkat kerumitan motif dan tingkat kedetailan. “Biasanya pelanggan juga pesan bahan-bahan (kayu, Red) yang lebih mahal,” ujarnya.
Mengukir bagi Endah bukan hal yang sulit. Secara teknis, semua orang pasti bisa mengukir asalkan mau belajar. Hal yang sulit, kata dia, lebih pada mencari inspirasi. “Tentunya juga harus melatih kesabaran, dan ketelatenan,” ucapnya.
Selama dua tahun menjalankan usaha casing ukir, Endah mengaku, daya beli konsumen mengalami pasang surut. Jangkauan pasar usaha Endah belum menyentuh ke marketplace. Selama ini, penjualan casing itu masih sebatas warga lokal Trenggalek. “Masih antar kecamatan saja. Pemasarannya lewat story WhatsApp dan sosial media,” ujarnya. Kendati begitu, intensitas pesanan casing ukir Endah bisa lebih dari 10 per bulan.
Menyikapi pasang surut daya beli, Endah pun mulai berinovasi mengembangkan produk ukirnya. Produk itu terinspirasi dari budaya lokal yang didominasi warga petani. “Eklek (wadah sabit, Red), khususnya warga Kecamatan Dongko, itu semakin banyak yang minat,” ujarnya.
Usaha yang dirintis sejak dua tahun belakang itu tak membuat Endah patah semangat dengan segala kondisi. Dia tetap akan mempertahankan usahanya, karena dia Endah berharap dapat membuka peluang kerja. (*/rka)