KOTA BLITAR – Rencana pembangunan Hotel Aston di Kota Blitar tampaknya belum mendapatkan lampu hijau dari warga. Informasi yang diterima Koran ini, beberapa warga di sekitar lokasi pembangunan hotel bintang tersebut menyatakan keberatan akan rencana pembangunan hotel.
Alasannya, pembangunan hotel itu bakal berdampak terhadap masyarakat sekitar. Utamanya terkait bakal berkurangnya air tanah. Namun, pemerintah Kota (Pemkot) Blitar telah turun tangan untuk menindaklanjuti informasi tersebut.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Blitar Heru Eko Pramono mengakui adanya penolakan dari sebagian kecil warga sekitar lokasi pembangunan hotel. Namun, hal itu dianggap wajar ketika ada suatu kebijakan, terutama rencana pembangunan insfrastruktur. “Pro dan kontra itu wajar. Namun, kami selalu berupaya melibatkan perangkat di wilayah untuk sosialisasi,” ungkapnya kepada Koran ini, kemarin (3/8).
Perangkat wilayah yang dimaksud, jelas Heru, mulai dari ketua RT, RW, lurah dan camat. Mereka harus bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat. Terutama warga yang kurang setuju terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. “Salah satunya adalah Hotel Aston ini. Kami sudah meminta camat dan lurah untuk berkomunikasi dengan masyarakat, terutama yang menolak,” terangnya.
Heru menduga komunikasi atau sosialisasi terkait rencana pembangunan hotel berbintang itu belum maksimal, terutama kepada warga sekitar. Akibatnya, warga sekitar memberikan respons penolakan. “Kami akan komunikasikan lagi kepada masyarakat yang belum sepaham dengan rencana pembangunan hotel tersebut,” ujarnya.
Alasan penolakan salah satunya, yakni kekhawatiran warga akan sumber air tanah. Warga khawatir air sumur akan mengering jika hotel berbintang itu dibangun. Sebab, hotel juga memanfaatkan sumber air tanah.
Selain itu, warga menilai hotel tersebut bakal digunakan untuk hal-hal negatif. Salah satunya, pelanggaran asusila. “Kekhawatiran ini yang coba kami pahamkan kepada masyarakat. Semoga semua bisa mendukung demi kemajuan kota Blitar. Sebab, Kota Blitar sudah saatnya memiliki hotel berbintang,” ujar mantan camat Sananwetan ini.
Soal kekhawatiran air tanah bakal mengering karena keberadaan hotel, kata Heru, tentu itu akan dipertimbangkan oleh investor. Pasalnya, ada salah satu izin yang menyangkut pemanfaatan air tanah. Yakni, surat izin pemanfaatan air tanah (SIPA).
Menurut dia, yang berwenang mengeluarkan izin tersebut adalah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim. Pihaknya menjamin pemprov bakal mengeluarkan SIPA setelah melalui sejumlah penilaian dan tinjauan di lapangan.
Sementara itu, Camat Kepanjenkidul Indra Purwanto mengatakan, sebagian warga di sekitar lokasi yang bakal dibangun hotel di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kepanjenkidul, memang ada yang menolak. “Jadi, ada dua kubu. Yang setuju dan menolak. Kami akan turun kembali ke warga untuk berdiskusi lebih lanjut. Ini untuk mengetahui alasan penolakan warga seperti apa,” tegasnya.
Salah satu keluhan warga yang tidak setuju, yakni ketakutan jika air sumur akan mengering karena banyak tersedot hotel. Untuk persoalan ini, pihak kecamatan akan memberikan pemahaman yang solutif. “Kami nanti libatkan investor atau pengembang hotel untuk sosialisasi kepada masyarakat. Investor yang akan membangun hotel juga harus berhadapan dengan masyarakat. Kami dari pemerintah sebagai penengah. Fasilitator,” terangnya.
Sebagai perwakilan pemerintah Kota (Pemkot) Blitar, kecamatan turut mendukung dan membuka peluang bagi investor yang ingin berinvestasi di daerah. Namun dari sisi kemasyarakatan, kecamatan juga memiliki kewajiban untuk melindungi warganya. “Agar dua-dua berjalan beriringan. Goal-nya ini nanti demi kemakmuran masyarakat Kota Blitar juga,” tandasnya. (sub/c1/ady)