KABUPATEN BLITAR – Capaian sebagai daerah penyuplai telur nasional bagi Kabupaten Blitar terancam hilang. Sebab, lebih dari 1.000 peternak di Bumi Penataran gulung tikar lantaran pandemi Covid-19. Kini kapasitas produksi telur hanya mampu sekitar 300 ton per hari.
Kabid Peternakan, Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakan) Kabupaten Blitar Indriawan menyatakan, ada sekitar 4.300 peternak ayam petelur sebelum pandemi Covid-19. Nah, dari pendataan April lalu, jumlah peternak menyusut menjadi sekitar 3.100 peternak. “Populasi unggas kini tinggal 13 jutaan ekor, sebelumnya ada sekitar 21 juta ekor,” ujarnya.
Penurunan populasi itu secara otomatis berdampak pada produksi telur di Kabupaten Blitar. Sebelum pandemi, kapasitas produksi telur mencapai 1.000 ton per hari. Namun, data terbaru mencatat produksi telur kini hanya berkisar 350-400 ton per hari. “Ini data pada bulan empat (April, Red) kemarin ya,” imbuhnya.
Menurut dia, kondisi perunggasan kini sudah menunjukkan tanda-tanda positif. Indikasinya, harga komoditas telur mencapai lebih dari Rp 20 ribu per kilogram. Ini berlaku sejak Lebaran lalu hingga minggu ke tiga Juli ini.
Meski begitu, guna mengembalikan kapasitas produksi seperti sebelum pandemi bukan hal mudah. Para peternak kecil kesulitan dengan modal. Di sisi lain, meski peternak sudah mulai menambah popoulasi ternak, butuh waktu agar unggas mereka produktif. “Nggak bisa ujug-ujug produksinya naik, meskipun populasinya bertambah,” terangnya.
Dari hasil evaluasi lapangan, peternak yang mampu bertahan adalah mereka yang bisa menekan biaya produksi. Misalnya dengan menerapkan self mixing untuk pakan ternak. Artinya, mereka tidak mengandalkan pakan pabrikan untuk menghemat biaya produksi.
Sayangnya, metode ini hanya mampu dilakukan oleh peternak dengan kualifikasi menengah atas. Artinya, peternak dengan populasi kecil tidak menerapkan metode tersebut. “Yang nyampur pakan sendiri itu bahannya impor. Nah, tidak semua peternak bisa melakukan impor bahan pakan ini, rata-rata peternak menengah,” jelas Indri.
Dari fakta tersebut, disnakan berencana membentuk kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan peternak. Hal ini akan memudahkan peternak untuk menerapkan metode tersebut. Sebab, nyaris tidak mungkin menerapkan metode tersebut jika kebutuhan pakannya tidak banyak.
Sejalan dengan hal ini, pemerintah daerah juga berencana membangun badan usaha milik daerah (BUMD) yang nantinya melakukan aktivitas trading. Peran perusahaan daerah ini penting untuk penyediaan pakan impor. Seperti, meat bon meal (MBM), tepung kedelai, bungkil kacang kedelai (BKK), dan lain lalin. “Kalau yang melakukan impor bahan baku ini BUMD, itu pasti sangat membantu peternak. Sebenarnya, bahan pakan ini ada di dalam negeri, tapi jumlahnya terbatas,” katanya.
Di lokasi terpisah, Ketua Koperasi Blitar Putra Sukarman membenarkan bahwa metode tersebut efektif untuk menekan biaya produksi. Pihaknya juga sepakat jika pemerintah daerah bisa memfasilitasi stok bahan pakan tersebut.
Peternak asal Nglegok itu tidak menampik harga telur kini bagus. Sayangnya untuk meningkatkan produksi telur relatif susah. Butuh waktu sekitar sebulan untuk mendatangkan DOC (day old chicken) dari pabrik. “Indennya lama, harganya juga relatif mahal, Rp 1.800 per ekor,” tandasnya. (hai/c1/wen)