TRENGGALEK – Berburu daging memang suatu hal yang wajar dilakukan masyarakat beragama Islam pascaperayaan Hari Raya Idul Adha, pada Minggu (10/7) lalu. Namun, hal di luar dugaan dilakukan Kelompok Tani (Poktan) Guyub Rukun, Desa Wonoanti, Kecamatan Gandusari. Sebab, mereka justru berburu isi lambung hewan kurban (rumen). Nantinya, itu akan diolah menjadi mikroorganisme hidup yang dapat memberikan efek baik (probiotik) guna membuat pupuk organik.
Program pupuk subsidi dari pemerintah di satu sisi merupakan angin segar bagi petani. Sebab, mereka bisa mendapatkan pupuk kimia bersubsidi dengan mudah hingga terbiasa menggunakannya. Dari situ, jika terjadi kelangkaan pupuk, mereka kebingungan bagaimana cara mencarinya hingga berani mengeluarkan uang lebih untuk menebus pupuk nonsubsidi. Pastinya tindakan itu bakal menimbulkan efek jangka panjang akibat penggunaan pupuk kimia tersebut. Seperti berkurang kesuburannya, karena banyak organisme penyubur tanah dapat mati oleh bahan kimia dan sebagainya.
Hal itulah yang mengubah pemikiran sebagian petani untuk beralih menggunakan pupuk organik. Karena itu, pada momen Hari Raya Idul Adha ini, selain mengurus tanamannya, sebagian petani yang masuk dalam Poktan Guyub Rukun berkeliling di masjid atau musala yang masih melakukan penyembelihan hewan kurban. Tujuannya bukan untuk meminta bagian daging hewan kurban tersebut, melainkan meminta rumen hewan kurban tersebut. Khususnya kambing, untuk diolah menjadi probiotik. “Kalau saya untuk tahun ini tidak berkeliling mencari rumen, sebab stok masih banyak hingga tahun depan, sedangkan anggota lainnya pada berburu,” ungkap salah satu anggota Poktan Guyub Rukun, Suparno.
Sebab, proses pembuatan pupuk organik tersebut sudah dilakukannya sekitar beberapa tahun lalu. Saat itu ada imbauan kepada para petani untuk membuat kompos dengan menggunakan organisme pengurai (dekomposer) yang dijual di berbagai toko pertanian. Namun, setelah petani mulai tertarik dan menggunakannya, tiba-tiba dekomposer tersebut mendadak langka, hingga stoknya tidak ada lagi di pasar. Karena itu, sebagian besar petani yang semula menggunakannya tidak dapat mendapatkannya lagi. “Setelah sulit didapat, tiba-tiba dekomposer tersebut ada kembali, tapi dengan harga yang lebih mahal. Dari sebelumnya Rp 25 ribu per liter menjadi Rp 50 ribu per liter, bahkan lebih,” katanya.
Karena itu, dirinya dan anggota kelompok mencoba mencari tahu kandungan apa yang terdapat dalam dekomposer tersebut. Melalui diskusi dengan pengawasan pertanian desa untuk pembuatan bahan alternatif lainnya. Dengan bimbingan tersebut, akhirnya para petani menemukan bahan alternatif lainnya dengan memanfaatkan rumen, yang dicampur dengan air rendaman beras (leri) dan tetes atau larutan gula merah. Untuk rumen sendiri, jika tidak pada masa hari raya kurban, para petani sudah bekerja sama dengan penjual sate kambing sehingga para petani datang ketika pembersihan jeroan tersebut.
Namun, semenjak saat itu dirinya mencoba membuatnya sendiri, dengan mencampurkan ketiga bahan tersebut pada sebuah timba bekas cat dinding dan menutupnya dengan plastik untuk proses fermentasi. Namun, dalam menutup timba tersebut, plastik diberi sedikit kelonggaran agar mengembang, agar ketika keluar udara hasil fermentasi tidak meletus.
Ternyata, hasil percobaan tersebut berhasil. Sebab, campuran tersebut berubah menjadi cairan dengan warna cokelat seperti probiotik. Setelah itu, dirinya langsung mencoba mengaplikasikannya untuk membuat kompos. Sekitar 15 hari berselang, itu berhasil. Namun, hal tersebut tidak langsung diinformasikan kepada petani yang lain, melainkan dicobanya dahulu ke tanaman anggota. Hasilnya, tanaman yang diberi kompos tumbuh baik hingga subur. “Setelah hasil uji coba, terbukti berhasil. Sebab, itu pertama kali mencoba pada lahan saya. Ini dengan luas sekitar 1 hektare bisa menghasilkan sekitar 5 ton gabah. Itu pun tanpa di pupuk kimia dan pestisida kimia,” imbuh pria yang akrab disapa Mbah Parno ini.
Tak ayal, karena kesuksesannya bersama poktan tersebut, banyak poktan lain yang ingin meniru. Sebab, biaya produksi yang digunakan jauh lebih hemat dari membeli pupuk atau pestisida buatan. Benar saja untuk proses probiotik ini bisa menggunakan barang bekas, seperti tong, selang kecil atau botol bekas air minum mineral, dan itu pun bisa digunakan berkali-kali. Karena itu salah satu bahan baku yang dibeli hanya tetes, yang hanya memerlukan 1 liter untuk rumen satu ekor kambing. “Jadi, jika dihitung-hitung pembuatan probiotik dari satu ekor kambing biayanya tidak sampai Rp 20 ribu. Sebab, semua bahan yang digunakan bisa dikategorikan limbah. Namun, itu semua bisa digunakan untuk membuat pupuk organik sekitar 5 hektare lahan,” imbuhnya.
Di lain pihak, pengawas pertanian Desa Wonoanti, Hernawan Widyatmiko menambahkan, proses pembuatan probiotik tidaklah sulit. Itu terjadi lantaran bahan baku yang digunakan mudah didapat. Sedangkan proses pembuatan sendiri, terlebih dahulu disiapkan rumen yang akan difermentasi beserta bahan yang digunakan, yaitu leri dan tetes. Ini terjadi lantaran rumen tersebut masih berbentuk bakteri, sedangkan leri dan tetes digunakan sebagai makan bakteri tersebut. “Sebenarnya tetes bisa diganti dengan larutan gula merah, tapi harganya pasti lebih mahal,” tuturnya.
Setelah itu, leri dicampur dengan tetes terlebih dahulu. Perbandingannya, rumen satu ekor kambing bisa menggunakan 1 liter tetes, sedangkan leri secukupnya. Kemudian, rumen dimasukkan ke wadah yang sebelumnya telah diberi lubang dengan pipa selang untuk udara, yang kemudian dimasukkan campuran tetes dan leri tersebut. Setelah itu, wadah ditutup rapat agar udara tidak masuk dan ditunggu selama satu bulan. “Dalam proses menunggu ini untuk meminimalisir kadar gas, lebih baik wadah ditempatkan di tempat teduh untuk menjauhkan dari matahari. Setelah itu, probiotik ini bisa digunakan untuk membuat pupuk organik dan pestisida alami, tergantung campurannya,” jelasnya.(*/c1/rka)