TULUNGAGUNG – Nilai-nilai terkandung dalam Pancasila tak boleh luntur dan kehidupan sehari-hari. Karena terus ingin menghidupkan toleransi, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al Badru Alaina, Abah Amu Sugito, mendirikan patung garuda raksasa, sebagai simbol dan pengingat akan pentingnya kerukunan.
Burung Garuda, merupakan lambang dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah di sahkan pada 11 Februari 1950 dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat. Makna dari lambang Burung Garuda sendiri yaitu untuk menggambarkan bahwa Negara Indonesia adalah bangsa yang besar dan kuat. Garuda juga sering muncul dalam kisah-kisah di Jawa dan Bali. Pada kisah-kisah tersebut, Garuda melambangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan kedisiplinan.
Luhurnya makna yang terkandung pada lambang garuda, menjadikan latar belakang dibangunnya patung burung garuda di Desa/Kecamatan Ngantru. Konstruksi patung burung garuda sendiri memiliki ukuran lebar 12 meter dengan tinggi 12 meter dan dibangun dengan metode subtraktif menggunakan bahan semen cor. Keindahan dari karya seni patung garuda ini juga terlihat dari arsiran sayap sehingga bentuk patung garuda tersebut terlihat indah dan mengandung makna kebhinekaan. Patung garuda tersebut terletak di pekarangan Ponpes Al Badru Alaina desa setempat.
Pengasuh Ponpes Al Badru Alaina, Abah Amu Sugito mengatakan, implementasi dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat di Desa Ngantru sangatlah baik. Hal itu tercermin dengan adanya suatu kegiatan, seluruh warga bergotong-royong ikut membantu. Sehingga dinamika masyarakat dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dapat diterapkan dengan baik dan menjadi kegiatan sehari-hari. “Salah satu tolak ukur di Kampung Pancasila yakni kerukunan yang tercermin dalam hubungan bermasyarakat, memiliki sikap toleransi antarkeragaman agama dan budaya serta adanya sikap saling peduli. Adanya tempat ibadah seperti masjid dan gereja merupakan suatu harmoni dan sikap toleransi kerukunan di Desa Ngantru, itu sudah ada sejak saya lahir dan harus terus dipelihara,” jelasnya Senin (21/3).
Lanjut Abah Amu, lunturnya nilai-nilai luhur pada Pancasila di masyarakat bisa disebabkan oleh banyak faktor. Antara lain seperti kurangnya tokoh keteladanan di sekitar, praktik pembangunan yang menyisakan kemiskinan, adanya ketidakadilan, kerusakan lingkungan secara fisik dan sosial agama. Menurut dia, selain itu adanya sikap individualisme, liberalisme dan tumbuhnya paham-paham radikal bisa merusak lunturnya nilai-nilai luhur pada Pancasila. “Sebagai warga negara yang baik, kita harus terus menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila,” ujarnya.
Abah Amu menambahkan, waktu yang dihabiskan untuk pembangunan patung raksasa Pancasila tersebut hanya selama kurang lebih 3 bulan. Pada waktu yang singkat, pekerja untuk membangun patung Pancasila tersebut sekitar 7 orang dan arsiteknya yakni Abah Amu sendiri. Dengan adanya patung raksasa Pancasila tersebut diharapkan dapat dijadikan refleksi untuk terus menerapkan nilai-nilai luhur pada Pancasila. “Pembangunan ini sudah selesai sebelum adanya wabah korona dan tujuan dari pembangunan patung yakni untuk refleksi akan nilai-nilai luhur yang terkandung pada Pancasila,” tutupnya.
Sementara itu, Danramil 0807/04 Ngantru, Kapten Inf. Usmar Umar, melalui Babinsa, Serma Imam Mustofa mengatakan, Desa Ngantru sudah dikenal sebagai salah satu desa yang menjunjung tinggi toleransi dalam keberagaman agama. Dengan di cetuskannya Kampung Pancasila banyak tergambar hadirnya Taman Pancasila, Gedung Pancasila dan Kebun Pancasila. Selain itu, kegiatan yang dilakukan Babinsa Kodim 0807/Tulungagung bersama warga yakni kerja bakti membersihkan Kampung Pancasila, mengecat warna-warni atau mural dengan tema Pancasila dan menyiapkan sarana prasarana pendukung Kampung Pancasila. “Warga menyambut dengan baik pembuatan Kampung Pancasila, itu terlihat dari antusias warga dengan rela membantu. Selain itu, akumulasi dari berbagai unsur saling berpengaruh, baik melalui sejarah, agama dan budaya, begitu pentingnya sebuah toleransi yang hidup di tengah warga sebagai wujud desa religi,” tandasnya. (*/din)