TULUNGAGUNG – Mengenal pertunjukan teater akan isyarat atau pantomim sudah sejak 2012 lalu. Yusuf Eko Nugroho kini berjuang untuk kembali mempopulerkan seni pertunjukan yang telah dikenal sejak zaman Romawi tersebut melalui komunitas bernama Pantukhir Tulungagung. Perjuangannya dalam mempopulerkan kembali pantomim di Tulungagung bisa dibilang tidak mudah, dari mulai pertunjukan di acara car free day (CFD) hingga pertunjukan dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya.
Popularitas kesenian pertunjukan teater akan isyarat atau yang biasa disebut pantomin mulai memudar seiring berkembangnya zaman. Seni pertunjukan pantomim sempat ramai di Indonesia pada tahun 1970 silam. Kini, Yusuf Eko Nugroho berjuang untuk membawa kembali masa kejayaan kesenian tersebut dan mementaskannya dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya.
Yusuf -sapaan akrab pria tersebut- mengenal pantomim pada saat mengenyam pendidikan di salah satu kampus ternama di Surabaya. Dia juga sempat pentas pada ajang kesenian tingkat nasional, bahkan internasional. Berbekal dari kecintaannya pada kesenian tersebut, lalu dia membawanya pulang ke tanah kelahirannya di Tulungagung. “Awal pulang ke Tulungagung itu saya tidak langsung membuat pertunjukan, tapi mencari komunitas-komunitas dengan bidang kesenian untuk menambah relasi dan jaringan. Barulah terbentuk Pantukhir itu,” jelasnya kemarin (17/7).
Setelah beberapa bulan di Tulungagung dan mengenal komunitas kesenian lainnya, dia mendapat tawaran untuk pentas pantomim pada saat CFD di Alun-Alun Tulungagung. Sekitar 30 menit dia habiskan untuk make-up dan mempersiapkan keperluan untuk pertunjukan. Mulai dari memakai foundation putih, mempertebal alis dan bibir, hingga tibalah waktu untuk mulai pertunjukkan. “Meski sering ikut pertunjukan pantomim di event-event besar, saya masih merasa grogi. Karena itu kali pertama saya perform di Tulungagung,” paparnya.
Pertunjukan pun telah dimulai dengan sorak tepuk tangan dari penonton. Dari anak-anak hingga orang tua yang semula hanya lalu-lalang saat CFD, mulai berhenti untuk menikmati pertunjukan pantomim darinya. “Saya tidak menyangka kalau responsnya akan seperti itu. Bahkan, waktu ada bagian untuk beradegan dengan penonton itu pun mereka bisa merespons dengan baik dan sangat antusias dengan pertunjukan pantomim,” ucapnya.
Setelah pertunjukan itu selesai, Yusuf banyak mendapatkan tawaran untuk mengajar pantomim di sekolah-sekolah. Namun, dia menolak tawaran tersebut lantaran tawaran-tawaran itu hanya dia dapatkan menjelang kejuaraan pantomim. “Melatih anak untuk pantomim itu tidak mudah dan membutuhkan cukup waktu, tidak hanya dua minggu menjelang kejuaraan saja. Bukan masalah uang, kalau dipaksa seperti itu kasihan anaknya. Kalau memang benar-benar ingin melatih anak-anak untuk pantomim, tidak dibayar pun saya mau,” ungkapnya.
Perjuangan pria asli Desa Ringinpitu, Kecamatan Kedungwaru, untuk membawa masa kejayaan kesenian pertunjukan pantomim itu tidak hanya selesai di sana. Dia kini sedang mempertunjukkan kesenian pantomim pada event-event di warung kopi Tulungagung. Salah satunya yakni pada event diskusi terkait pengadaan bantuan siswa miskin (BSM). Pada pertunjukan tersebut dia berperan sebagai anak petani yang sulit mendapatkan pendidikan karena keterbatasan biaya. “Wah, pada pertunjukan itu saya bisa mengutarakan apa yang saya rasakan selama ini. Kesenian bisa menjadi wadah untuk mengkritik, salah satunya melalui pertunjukan pantomim,” tutupnya. (*/c1/din)