KABUPATEN BLITAR – Proses hukum yang membelit Kepala Desa Ngadri, Kecamatan Binangun, Miftakhul Munip atau MM, mulai menapaki puncak. Jaksa penuntut menuntut kepala birokrasi desa itu dengan dua tahun dan empat bulan.
Kuasa hukum pelapor berharap terdakwa ditutut seberat-beratnya agar menimbulkan efek jera untuk pejabat-pejabat desa yang lain.
Kasi Pidum Kejaksaan Negeri (Kejari) Blitar, Faetony Yosi Abdullah mengatakan, rangkaian pemeriksaan saksi sudah dilakukan. Beberapa hari lalu, perkara bantuan sosial tunai (BST) tersebut sudah memasuki tahap penuntutan. “Menurut kami terdakwa terbukti bersalah telah melanggar undang-undang tentang penanganan fakir miskin. Kami menuntutnya dengan pidana penjara 2 tahun 4 bulan,” katanya kepada Koran ini, kemarin (19/6).
Minggu ini dijadwalkan akan digelar sidang dengan agenda pembelaan. Karena itu pula, pihaknya optimistis awal bulan depan sudah ada putusan terkait perkara tersebut. Nantinya, sejumlah barang bukti perkara akan dikembalikan kepada pihak terkait. Salah satunya uang tunai yang menjadi bukti dalam kasus pidana ini. “Nominalnya memang tidak banyak. Nanti, akan kami kembalikan ke PT POS,” terangnya.
Sebelum sidang putusan, jelas Yosi, biasanya majelis hakim memberikan kesempatan untuk terdakwa untuk membela diri. Ini penting sebagai salahsatu bahan pertimbangan hakim sebelum memutuskan perkara. Usai pledoi ini, penuntut umum juga diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan. “Jika diperlukan nanti kami juga balas dengan surat,” tegasnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Pelapor Kasus BST Desa Ngadri, Joko Trisno Murdiyanto mengatakan, tuntutan menjadi kewenangan jaksa. Pihaknya menyadari tidak ada kapasitas mempengaruhi besaran tuntutan terhadap terdakwa. “Kami berharap agar itu merupakan tuntutan maksimal,” akunya.
Menurut dia, persoalan BST ini tidak hanya soal penyalahgunaan kewenangan, namun juga menyangkut nilai-nilai sosial di masyarakat. Pasalnya, objek penerima manfaat bantuan tersebut adalah orang-orang tidak mampu. Dengan begitu, sudah sepatutnya jika hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan yang melibatkan orang tidak mampu diberikan seberat mungkin. “Jadi persoalan BST di Desa Ngadri ini harus bisa menimbulkan efek jera bagi pejabat pemerintah desa. Mereka tidak boleh main-main dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan orang kecil,” tegasnya.
Untuk diingat kembali, persoalan di Desa Ngadri, Kecamatan Binangun ini bermula dari penyaluran BST. Di desa tersebut terdapat sejumlah penerima manfaat program yang ternyata sudah meninggal dunia.
Bantuan dari pemerintah tersebut tetap tercairkan meski objek penerima manfaatnya sudah meninggal dunia. Anehnya, pihak keluarga atau ahli waris penerima manfaat bantuan ini juga tidak merasa menerima bantuan tersebut. (hai/ady)