Mengubah nasib melalui sektor perdagangan, menjadi faktor kuat etnis Tionghoa masuk ke wilayah Tulungagung. Meski kala itu kekuasaan masih di tangan Belanda, mereka tetap berani ekspansi hingga masuk ke politik dagang masa itu.
Etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis terbanyak di seluruh penjuru dunia. Tak heran, mereka khususnya di Tulungagung telah ada sejak ratusan tahun lalu. Peraduan nasib melalui sektor perdagangan merupakan alasan hijrah.
Penulis buku Babad Tulungagung, Agus Ali Imron menceritakan, tahun 1846 merupakan tahun kali pertama etnis Tionghoa masuk ke wilayah Tulungagung. Mereka melewati jalur Sungai Brantas yang terhubung dengan Sungai Ngrowo. ”Jadi, etnis Tionghoa itu masuk ke Tulungagung melalui transportasi sungai. Mereka berasal dari Kediri, menggunakan transporatasi sungai datang ke Tulungagung,” jelasnya kemarin (21/12).
Tujuan dari kedatangan mereka untuk ekspansi dagang. Dengan membawa tiga komoditas unggulan yaitu kopi, garam, dan minyak. Ekspansi dagang ini bahkan menjadi politik dagang dan membuatnya leluasa berdagang, meski saat itu Indonesia masih di bawah penjajahan kolonial Belanda. ”Melalui komoditas yang dibawa, bisa dikatakan etnis Tionghoa di Tulungagung berdampingan dengan Belanda,” ucapnya.
Pusat perdagangan etnis Tionghoa di Tulungagung berada di dekat Sungai Ngorowo, atau yang kini dikenal dengan kawasan Pasar Wage. Bahkan, kawasan itu menjadi pusat keberadaan masyarakat etnis Tionghoa di Tulungagung hingga sekarang. ”Dulu kawasan Pasar Wage merupakan tempat keberadaan gudang kopi, garam, dan minyak masyarakat dari etnis Tionghoa. Kini kawasan tersebut sudah banyak berubah menjadi pertokoan. Sekarang masih dihuni mayoritas masyarakat etnis Tionghoa,” paparnya.
Setelah 20 tahun berjalan atau sekitar 1864, kali pertamanya masyarakat etnis Tionghoa mendirikan sebuah Kelenteng Tjoe Tik Kiong, yang menghadap langsung ke Sungai Ngrowo dan masih berada di satu kawasan Pasar Wage, yang saat itu menjadi pusat perdagangan etnis Tionghoa di Tulungagung. ”Usia Kelenteng Tjoe Tik Kiong berkisar 176 tahun. Kelenteng tersebut menjadi pusat ibadah etnis Tionghoa di Tulungagung dari dulu, bahkan hingga sekarang ini,” ungkapnya.
Selain sektor perdagangan, masyarakat etnis Tionghoa juga menggunakan kebudayaan untuk dapat membaur dengan masyarakat lokal. Di antaranya, melalui kesenian barongsai dan wayang potehi. Kebudayaan tersebut bahkan hingga sekarang masih dapat dijumpai. ”Ketika Imlek, masyarakat etnis Tionghoa juga membagikan sembako kepada tetangga sekitar, dan itu masih dipertahankan sampai sekarang,” ucapnya.
Di sisi lain, salah satu warga etnis Tionghoa di Tulungagung, Liem Giok Bien menambahkan, masuknya masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia khususnya di Tulungagung bertujuan untuk mengubah nasib. Pasalnya, di tempat asal mereka sudah padat sehingga mereka harus berpindah untuk mengubah nasib. ”Kalau dalam cerita keluarga, orang etnis Tionghoa kali pertama masuk ke Indonesia itu sudah campuran antara etnis Cina dan Jawa. Saya ini sudah keturunan ke empat. Jadi sudah banyak campurannya daripada asli etnis Tionghoa,” ungkapnya.
Pria yang juga akrab disapa Kuwato itu mengungkapkan, marga Tionghoa akan tetap terjaga dari anak laki-laki keturunan mereka. Namun, marga akan hilang jika anak turun mereka perempuan. ”Marga ini simbol penerus etnis Tionghoa. Yang dapat meneruskan marga hanyalah anak turun laki-laki. Kalau perempuan tidak bisa meneruskan,” pungkasnya. (*/c1/din)