Tok tok tok.
Aku tersentak ketika mendengar suara ketukan di pintu ruanganku. Sambil tersenyum semringah, aku bergegas membukakan pintu. Namun yang kudapati bukanlah seseorang yang kutunggu. Raut wajahku kembali datar. Aku berbalik tanpa menghiraukan orang yang sedari tadi hanya diam di ambang pintu. Kurasakan dia menghela napas, lalu mengikutiku masuk ke dalam ruangan.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya.
“Saya baik-baik saja, sejak dulu,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
“Jika kamu masih menunggu dia, berarti kamu belum baik-baik saja.”
Sial, topik ini lagi. Kali ini aku menoleh ke arahnya dan menatap tajam.
“Saya pikir itu bukan urusan Anda.”
Orang itu terdiam. Aku mulai mengabaikannya dengan meraih novel di mejaku dan membacanya. Baru beberapa rentet kalimat kujelajahi, konsentrasiku teralihkan saat orang itu kembali membuka suara.
“Baiklah, saya pikir kamu perlu istirahat lebih lama lagi. Jika kamu butuh sesuatu, jangan sungkan untuk menghubungi saya. Saya permisi.”
Aku hanya menatap sekilas kepergiannya. Cih, dia pikir aku membutuhkannya? Yang kubutuhkan saat ini hanyalah kehadiran dia. Aku menatap kalender yang terpasang di dinding sebelah kiriku. Hari ini tanggal 13 September 2020, ulang tahun dia.
“Hei, hari ini ulang tahunmu. Kamu nggak mau menemuiku? Apa aku yang harus menemuimu? Tapi aku nggak tahu di mana kamu sekarang.”
Aku tidak pernah bosan menunggu, karena aku tahu dia akan datang.
Tetapi kapan?
***
26 September 2018.
“Selamat ulang tahun, Kirana!”
Mataku membelalak kaget tatkala membuka pintu rumah. Rasa letihku selama seharian ini rasanya menguar begitu saja saat melihat senyum cerah dan sambutan hangat dari orang di hadapanku, Arsaka—tetapi aku lebih suka memanggilnya Saka. Di tengah cahaya senja, aku tersenyum sambil melangkah maju ke arahnya yang sedang membawa kue, lengkap dengan lilinnya.
“Make a wish, dong.” Saka sedikit membungkukkan tubuhnya yang tinggi agar kuenya lebih dekat denganku. Lagian dia ini memang terlalu tinggi, sih. Aku saja hanya sebahunya.
Aku memejamkan mataku dan mulai membuat permohonan di dalam hati. Aku tidak meminta banyak hal. Aku hanya meminta agar Saka terus ada di sampingku sampai kapan pun. Dia sangat berarti untukku. Di saat dunia dan seisinya melupakanku, dia datang memberikan kekuatan. Sepertinya, Tuhan belum mengizinkanku untuk kembali ke pelukan-Nya.
“Kamu minta apa aja?” tanya Saka setelah aku selesai meniup lilin.
“Dih, kepo.”
Saka merengut kesal. “Oh, gitu ya? Nih, rasain!”
Dia mencoret-coret pipiku dengan krim cokelat. Tidak mau kalah, aku juga membalasnya. Kami sampai kejar-kejaran mengelilingi ruang tamu rumahku.
“Stop stop. Udah deh, aku capek.” Hanya alibiku sebenarnya, karena jika diteruskan seluruh wajahku bisa penuh dengan krim. Sementara wajah Saka masih bersih, hanya beberapa krim menempel di bajunya. Tanganku tidak bisa menggapai wajahnya, sungguh tidak adil kesenjangan ini.
“Hahaha… oke oke.”
Mengabaikan penampilan kami—terutama penampilanku—yang sudah acak-acakan, aku dan Saka tetap menikmati kue yang sudah tak berbentuk ini. Bodo amat, yang penting kan bisa dimakan!
“Habis ini mau ngapain?” tanya Saka sambil tetap menyantap kue dengan lahap, padahal yang sedang ulang tahun saja tidak makan segitu banyaknya.
“Ngerjain tugas.”
Gerakan Saka terhenti, lalu dia menatapku penuh selidik.
“Kenapa?” tanyaku.
“Bukan ngerjain tugas temanmu lagi, kan? Jangan mau disuruh-suruh.”
Ah, dia masih mengingat hal itu rupanya.
“Nggak kok, ini tugasku sendiri.”
Saka hanya mengangguk. Aku tidak berbohong jika setelah ini aku mengerjakan tugasku sendiri. Namun, aku berbohong untuk yang satunya. Seharian ini aku merasa lelah karena harus mengerjakan PR dari beberapa teman sekelasku sepulang sekolah. Dahulu, Saka bilang kepadaku agar tidak menuruti kemauan mereka. Dia memang benar, tetapi aku tidak bisa menolaknya.
Aku tahu jika mereka hanya memanfaatkanku, tetapi tanpa sadar aku senang jika merasa dibutuhkan. Rasanya seperti… ada yang masih membutuhkanku, jadi aku harus bertahan di dunia ini lebih lama lagi.
“Yaudah, aku pulang dulu. Kalau mau ngerjain tugas ya kerjain aja, tapi jangan tidur malam-malam.”
Saka beranjak dari tempat duduknya, mengambil beberapa tisu, lalu mendekat ke arahku. Dia membersihkan krim-krim hasil karyanya di wajahku dan tertawa lepas. Kesurupan nih orang.
“Rakus banget sih, sampai cemot kaya gini hahaha…”
“Ih, pulang sana!”
Saka mengacak-acak rambutku, lalu melangkah menuju pintu.
“Saka.” Panggilanku menghentikan langkahnya.
Dia menoleh, menunggu suara keluar dari mulutku.
“Makasih buat kue sama kejutannya. Jangan pernah bosan jadi temanku, ya?” Aku menatapnya sambil tersenyum tulus.
Dia membalas dengan senyuman teduh, senyum yang selalu kusukai sejak aku mengenalnya dua tahun yang lalu. Saka mengangguk pasti dan kembali melangkah. Aku terus memandang punggungnya yang kian menjauh, hingga hilang ditelan oleh cahaya jingga yang semakin gelap.
Senja yang indah telah pergi, tapi esok pasti akan kembali.
***
Arsaka. Lelaki jangkung yang tiba-tiba datang di kehidupan suramku. Saat itu, aku telah pasrah pada hidup. Uang beasiswaku hampir habis, tidak ada yang peduli padaku, bahkan keluargaku sekalipun. Aku benar-benar dibuang, jadi kupikir tidak ada gunanya aku hidup. Toh, tidak ada yang mencari dan membutuhkanku. Di tengah keputusasaanku, Saka datang saat aku hendak melompat dari jembatan. Dia dengan gaya sok kenalnya mengajakku berbincang-bincang tentang banyak hal, hingga aku lupa tujuan awalku datang ke jembatan itu. Di akhir pertemuan pertama kami, dengan tidak sopannya dia meminta alamat rumahku dan dengan bodohnya aku memberikannya secara cuma-cuma.
Namun, jika saat itu aku tidak bodoh, mungkin aku sudah tidak ada di dunia ini lagi. Saka seperti sebuah pesan yang dikirimkan Tuhan padaku. Memintaku untuk bertahan lebih lama lagi dengan menghadirkan seorang teman dan harapan.
“Heh, malah ngelamun!”
“Hah? Apa?”
Aku tersadar dari lamunan masa laluku begitu mendengar suara Saka yang cukup keras. Kutatap sekelilingku, ternyata aku masih berada di teras rumah dan kudapati Saka menatapku bingung.
“Ngelamunin apa sih?”
“Bukan apa-apa, cuma keinget masa lalu.”
“Pas kita pertama ketemu?”
Seketika aku menoleh ke arah Saka. “Kok tahu? Cenayang, ya?”
“Bukan, dukun.”
Aku hanya tertawa hambar.
“Ngomong-ngomong Sak, bentar lagi ulang tahunmu kan, ya?”
“Hmm… seminggu lagi sih, kenapa? Mau nyiapin kado buat aku, ya? Duh, perhatiannyaaa…”
“Apa sih, nggak jelas.”
Jika kuhitung, berarti aku sudah mengenal Saka selama hampir tiga tahun. Pertemuan pertama kami sekitar awal September 2016, seingatku. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, padahal rasanya baru kemarin aku diberi kejutan ulang tahun olehnya. Ternyata itu sudah tahun lalu. Tahun ini aku juga ingin merayakan ulang tahunnya.
“Sak, pas ulang tahun mau hadiah apa?”
“Eh, beneran mau dikasih?”
“Udah jawab aja.”
Bukannya menjawab, Saka malah mengalihkan pandangannya ke arah langit yang saat ini begitu cerah, dihiasi gumpalan kapas putih yang meneduhkan.
“Ran, apa yang kamu pikirkan ketika melihat langit?” tanya Saka seraya menoleh ke arahku.
“Hmm… luas? Tak terbatas?”
Saka terkekeh. “Itu memang benar, tapi bukan itu yang kumaksud.”
“Lalu?”
“Aku ingin kamu seperti awan dan burung di langit. Langit yang luas tak terbatas itu dipenuhi oleh awan yang meneduhkan dan burung yang bergerak bebas. Aku ingin kamu seperti mereka.”
“Itu yang kamu inginkan di hari ulang tahunmu?”
“Tentu saja bukan, aku ingin hadiah yang bagus pokoknya.”
Aku mendengus. Lalu untuk apa dia sok puitis tadi?
“Ran.”
“Hm.”
“Seperti filosofi langit, awan, dan burung, jangan batasi dirimu, bergeraklah dengan bebas. Lakukan apa pun yang kamu suka, asal nggak merugikan orang lain. Dan yang paling penting, jangan pernah menyerah pada hidup… meskipun aku tidak ada.”
Aku tersentak. “Kamu mau ke mana?”
“Ke mana? Ya mau pulang, lah.” Setelah kalimat itu terucap, Saka berdiri dan menarikku ke pelukannya. Aku hanya diam karena terlalu kaget. Kubenamkan wajahku yang sudah semerah tomat di dada bidangnya.
Setelah dilanda keheningan selama sekitar satu menit, Saka melepaskan pelukannya dan mengusak rambutku.
“Tunggu aku.”
Kalimat itu ditinggalkan begitu saja olehnya tanpa kepastian. Hingga aku sadar, setelah itu dia tidak pernah datang menemuiku lagi.
***
26 September 2020.
Aku tidak ingat kapan dan siapa yang membawaku ke tempat ini. Orang-orang di sini bilang aku sedang sakit, jadi keluargaku membawaku ke sini. Cih, pembual. Keluarga? Sejak kapan aku punya keluarga? Sejak kapan aku punya keluarga yang peduli padaku? Aku hanya tertawa sinis menanggapi bualan mereka. Terus terang aku muak berada di tempat ini. Seperti rumah sakit, tetapi tidak terlalu besar. Ruangan yang kutempati cukup luas. Ada satu tempat tidur, meja, dan sofa. Yang paling membuatku risih adalah bau obat-obatan yang cukup menyengat. Uh, aku merasa mual.
“Hai Saka, hari ini ulang tahunku. Kamu tetap nggak mau datang?”
“Mereka berpikir aku sudah gila karena menunggu kedatanganmu. Apa aku salah?”
“Mereka bahkan memaksaku menjalani psikoterapi tiap minggu.”
Aku tertawa kecil, lalu meraih sebuah papan dada yang terselip di kasurku dan membaca tulisan yang tertera paling atas.”Kirana Anggraini.Skizofrenia.Since 2016”
Aku melemparnya ke sembarang arah dan tertawa semakin keras. Benar-benar omong kosong. Orang-orang ini sungguh menganggapku tidak waras. Namun apa pun itu, aku tidak peduli. Duniaku terasa lebih indah jika bersama Saka, mereka tidak akan pernah mengerti.
Aku hanya dimintanya untuk menunggu, maka pasti akan kutunggu. Penantian ini, biarlah kubawa sampai mati.
Penulis Cerpen: Devis Anggi Septiani