TULUNGAGUNG – Komunitas berbasis gender yaitu Beri Ruang Aman (BRA) menyayangkan keputusan damai karena pencabutan laporan dari pihak korban. Berharap polisi bertindak pada trauma korban. “Kami menyayangkan akhir kasus cabul santri yang laporannya dicabut oleh korban hingga berujung damai. Bagi saya, tidak bisa kasus pencabulan atau pelecehan seksual diputuskan dengan restorative justice,” ujar Koordinator Beri Ruang Aman (BRA) Diah Rizki.
Baca juga Kasus Pencabulan Guru Ngaji di Boyolangu Berakhir Damai, Polisi Berdalih Laporan Dicabut
Bagi Diah, kasus pelecehan seksual tidak serta-merta berhenti karena berujung damai, karena harus melihat trauma dan pemulihan kejiwaan dari korban. Hal ini bertambah tanggung karena ketika laporan dicabut, polisi tidak ada kewajiban untuk melakukan penanganan lebih lanjut.
BRA sendiri juga belum bisa bertindak karena dari awal kepolisian yang menangani kasus ini. Mengingat kasus pelecehan ini korbannya anak dan sempat dilakukan pemeriksaan oleh kepolisian, sehingga menimbulkan efek trauma pada korban. Dengan itu, kepolisian harus berkoordinasi dengan dinas terkait seperti ULT Pelayanan Sosial Anak Integratif (PSAI) dan dinas keluarga berencana, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (dinas KBPPPA). Hal itu dilakukan untuk memastikan bahwa pemulihan korban dari traumanya itu berjalan.
Dia berpikir sampai kini tidak ada yang mengetahui kondisi mental dari korban dan psikologisnya. Karena itu, perlu dilakukan pendampingan, sebenarnya BRA ingin melakukan hal tersebut. Namun kasus ini telah berada di level atas karena telah masuk polres dan seharusnya ditindaklanjuti dinas. Dia mengaku siap bila nantinya BRA diajak untuk melakukan pendampingan dalam kasus ini.
“Karena kasus pelecehan seksual seharusnya pemulihan psikis korban diutamkan dulu. Jika kasus masuk jalur hukum bisa menang dan kalah, sebab tidak ada undang-undang yang menaungi kejahatan kekerasan seksual,” terangnya. (jar/c1/din/dfs)