TULUNGAGUN – Kasus penipuan yang menimpa puluhan calon pekerja migran Indonesia (PMI) terus terulang. Maka dari itu, para pelaku perlu dibuat jera dengan hukuman setimpal karena telah merugikan korban.
Meski demikian, para korban penipuan dari perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) perlu melakukan langkah taktis agar tuntutan hingga kasus hukum berjalan dengan baik. “Jika para korban melaporkan ke MRC, kami akan mendampingi,” terang Kordinator Migrant Worker Resourse Center (MRC) wilayah Tulungagung, Yatini, kemarin (16/2).
Dia mengaku, jika ada laporan di lembaganya tersebut akan lebih mudah untuk melakukan pengawalan kasus, termasuk kasus terbaru itu.
Jika ada belasan korban namun hanya satu yang melaporkan, maka akan lebih sulit untuk berjuang. Berbeda ketika bersama-sama melaporkan, akan lebih mudah untuk mendata dan melakukan tuntutan.
Belajar dari kasus sebelumnya di Kecamatan Rejotangan, dari puluhan korban hanya satu yang melaporkan ke polisi. Korban ini benar-benar mengawal sendiri mulai laporan hingga vonis hakim terhadap terdakwa 2 tahun 10 bulan dan denda Rp 100 juta.
Nah, jika para korban ini saling mendukung akan lebih mudah untuk proses hukum. “Bagaimana mereka akan bisa konsultasi dengan lembaga perlidungan saksi dan korban (LPSK), lebih detail dalam berbagai person dan solusi didapat,” ungkap perempuan bekerudung itu.
Dia menambahkan, berbagai persoalan PMI ini perlu penanganan dari hulu sampai hilir. Mulai persiapan sebelum berangkat hingga sampai tujuan.
Di samping itu, ada pengawasan dari pihak terkait agar tidak terjadi penipuan terhadap PMI. Termasuk sejak di penampungan. “Untuk pengawasan bagi P3MI, sebenarnya merupakan kewenangan dari dinas tenaga kerja (disnaker) provinsi. Namun persoalannya, tenaga mereka hanya tiga personel dan lokasi penampungan berada di kabupaten sehingga tidak maksimal. Belum lagi pemahaman terkait migrasi yang tidak begitu mendetail,” tandasnya.
Jadi solusinya, lanjut dia, perlu ada pemahaman bagi calon PMI terkait cara bermigrasi aman. Calon PMI ini harus mengetahui hak-hak mereka yang akan didapatkan sebelum keberangkatan hingga saat berada di negara penempatan.
Di samping itu, para PMI ini berserikat sebagai upaya peningkatan pemahaman, di antaranya bisa memberikan argumentasi ketika ada ketidakadilan, dan mendapatkan pendampingan saat ada persoalan.
Peran masyarakat terutama desa tak bisa dilepaskan, karena desa akan lebih mudah dijangkau PMI untuk mendapatkan informasi terkait protokol layanan, pengaduan, dan lain-lain.
Diketahui sebelumnya, Selasa kemarin (15/2) belasan calon PMI menggeruduk Polres Tulungagung untuk menindaklanjuti kasus penipuan yang menimpa mereka. Kedatangan tersebut merupakan kedua kalinya ke markas Korps Bhayangakara itu, lantaran belum ada kejelasan terkait laporan kasusnya.
“Kami datang ke Polres Tulungagung ini untuk mencari keterangan perkembangan kasus penipuan pemberangkatan PMI yang kami laporkan Oktober 2021 lalu. Kami direkrut perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) pada April, namun hingga Oktober tidak ada kabar pemberangkatan,” ujar korban penipuan calon PMI asal Kelurahan Bago, Kecamatan Tulungagung, Widianto.
Para calon PMI banyak yang mengetahui P3MI atau PT di Desa Boro, Kecamatan Kedungwaru, itu lewat media sosial (medsos) dan tertarik dengan tawarannya karena diiming-imingi bekerja di AS dengan gaji Rp 80 juta tiap bulan. Bahkan, mereka rela mengeluarkan puluhan juta uang tunai hingga sertifikat aset untuk dijadikan jaminan, jika ditotal kerugiannya mencapai Rp 2 miliar dari 20 korban itu. (jar/c1/din)