DI era modern seperti sekarang, generasi muda Indonesia sedang senang-senangnya dikelilingi dengan inovasi teknologi yang sangat canggih. Hal ini menyebabkan generasi ini menjadi ketergantungan dengan media sosial. Tapi dibalik semua itu pasti terdapat tujuan atau hanya sekedar alasan bahwa mereka memiliki sifat FOMO terhadap suatu keadaan sehingga membuatnya memiliki ketergantungan terhadap media sosial. Jika mereka memang membutuhkan sosial media untuk kepentingan positif, mereka hanya akan membutuhkan waktu bermain ponsel selama kurang lebih 5-6 jam. Apabila melebihi batas waktu tersebut, bisa dikatakan bahwa kalian memiliki sifat FOMO.
Apa Itu FOMO?
FOMO (Fear of Missing Out) adalah sindrom yang membuat seseorang merasa takut dan khawatir ketinggalan tren yang sedang ramai terjadi. Bukan hanya khawatir ketinggalan tren, namun semua aspek kehidupan yang membuat seseorang merasa khawatir tertinggal atau kurang update bisa termasuk dalam sindrom ini. Seperti aktivitas sosial, status sosial, pekerjaan, dan kondisi lainnya.
Penyebab FOMO?
Menurut psikolog klinis, Lauren Hazzouri, penyebab seseorang fear of missing out mendorong seseorang untuk selalu memenuhi standar lingkungannya. Ini membuat seseorang mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Orang yang memiliki gangguan kecemasan atau depresi bisa juga mengalami FOMO. Mereka yang mengalami FOMO juga cenderung lebih “konsumtif” dalam bermedia sosial. Bisa dikatakan bahwa sosial media dijadikan wadah pelarian atas rasa kurangnya rasa bahagia. Sering kali pelarian ini justru membuat mereka semakin merasa rendah diri. Karena melihat postingan teman yang punya kehidupan “sempurna” yang memunculkan rasa rendah diri dan iri. Mereka yang mengalami hal ini sangat suka bersaing, ingin terlihat eksis serta senang dilihat banyak orang bahwa dia bahagia dan berguna bagi orang lain karena setiap aktivitasnya selalu dibagikan ke sosial media seolah-olah menjadi wow atau lebih menarik daripada orang lain. Dengan kegiatan yang dia lakukan,dia akan merasa lebih puas, berharga dan bahagia.
Sindrom atau kegiatan seperti ini dipicu oleh ketergantungan individu terhadap media. Ada teori yang diperkenalkan oleh Melvin DeFleur dan Sandra Ball-Rokeach yaitu Teori Ketergantungan Media (Media Dependency Theory) adalah teori yang menjelaskan bagaimana manusia mempunyai ketergantungan kepada media massa.
Menurut Rahmi Mulyasih dalam jurnalnya yang berjudul Dependency Media Pada Masyarakat Indonesia (2013), menjelaskan beberapa asumsi mengenai teori ketergantungan media. Berikut asumsinya:
- Jika media mempengaruhi individu, hal itu karena media memenuhi kebutuhan dan keinginan individu, bukan dikarenakan media menggunakan beberapa pengawasan pada setiap individu.
- Individu menggunakan media dalam bagian yang besar menentukan berapa banyak media akan mempengaruhi individu, misalnya semakin individu tergantung pada informasi dari media semakin besar kemungkinan media akan mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan bahkan tingkah laku individu.
- Karena peningkatan kompleksitas masyarakat modern tergantung banyak pada media untuk membantu memahami dunia, membantu individu membuat keputusan yang memperkenankan individu menanggulangi kehidupan yang lebih baik.
- Individu yang memiliki kebutuhan yang lebih banyak akan informasi, pelarian atau fantasi akan lebih dipengaruhi oleh media dan mempunyai ketergantungan media yang lebih besar.
Dengan demikian kita harus bisa mengatasi hal seperti ini, cara yang pertama adalah mulai membatasi penggunaan sosial media, hal ini bisa membantu sedikit demi sedikit kegiatan negatif atau toxic diluar sana. Kedua, fokus pada kelebihanmu, karena bersyukur dan fokus pada diri kita atau kelebihan kita itu bisa membuat kedamaian tersendiri dengan diri kita. Ketiga membangun koneksi dan relasi, dengan memperbanyak koneksi dapat membuat kita teralihkan dari kegiatan-kegiatan tidak penting dan digantikan dengan kegiatan positif. Dan yang terakhir adalah mengubah persepsi dengan cara libur sosial media (media social detox). Meskipun cara ini cara yang paling susah dan berat untuk konsisten, tapi bila dalam diri kita ingin melakukan suatu perubahan positif pasti seiring berjalannya waktu cara ini bisa menjadi mudah. (*)