MANUSIA hidup berdampingan dengan nilai dan norma dalam kehidupan bermasyarakat. Semua telah diatur dan ditata dalam sebuah hukum tertulis maupun tidak tertulis yang seharusnya dan selayaknya ditaati oleh semua tatanan masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang tenteram dan sejahtera. Indonesia juga merupakan negara hukum, semua telah ada dan bersumber dari pandangan hidup rakyat Indonesia yaitu Undang-undang Dasar 1945.
Hukum bersifat dinamis sesuai perubahan keadaan masyarakat, tak terkecuali pada situasi pandemi Covid-19. Beragam regulasi hukum dibuat khusus bertujuan untuk menyesuaikan keadaan pandemi Covid-19. Hukum-hukum tersebut termasuk peraturan dari Satgas Penanganan Covid-19 pada Surat Edaran (SE) Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nomor 25 Tahun 2021 mengenai Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional pada situasi pandemi Covid-19, yang mana diwajibkan melaksanakan karantina bagi WNI maupun WNA yang telah melakukan perjalanan dari luar negeri.
Peraturan melakukan karantina itu sendiri bertujuan memutus rantai penyebaran virus Covid-19. Meskipun sudah tercatat 42,5% populasi di Indonesia telah melakukan vaksinasi, namun tetap saja kita tidak boleh lalai dan menghiraukan mengenai keberadaan virus Covid-19 mengingat saat ini telah muncul varian baru yaitu Omicron. Tentu protokol kesehatan harus tetap diterapkan termasuk melakukan karantina setelah melakukan perjalanan dari luar negeri, apalagi jika kedatangannya dari negara yang mulai menyebar varian Omicron tersebut.
Ketentuan karantina saat ini bagi WNI atau WNA yang telah melakukan perjalanan keberangkatan berasal dari luar negeri, yaitu selama 10-14 hari seperti yang telah tercantum pada Putusan Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pintu Masuk (Entry Point), Tempat Karantina, dan Kewajiban RT-PCR bagi WNI atau WNA yang telah melakukan perjalanan keberangkatan dari luar negeri.
Peraturan dibuat tentu dengan segala konsekuensi jika dilanggar, maka jika ada masyarakat yang melanggar peraturan pada Putusan Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pintu Masuk (Entry Point), Tempat Karantina, dan Kewajiban RT-PCR untuk WNI atau WNA yang telah melakukan perjalanan dari luar negeri dan terbukti melanggar tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yang sudah diatur, maka akan diberi sanksi hingga hukuman.
Sanksi dan hukuman yang diberikan bagi pelanggar imbauan tersebut bisa berupa denda uang satu juta sampai dengan seratus juta, atau kurungan penjara selama 6 (enam) bulan sesuai dengan yang diatur pada Undang-Undang tentang Wabah Penyakit Menular Nomor 4 Tahun 1984 Pasal 14 dan juga yang tertera di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Meskipun sudah banyak aturan hukum yang dibuat sedemikian rupa, nyatanya ada beberapa oknum yang masih saja melanggarnya dengan berbagai alasan yang tidak wajar. Hal ini terjadi juga pada seorang public figure tanah air yang namanya pada beberapa bulan terakhir sempat menjadi buah bibir masyarakat dunia nyata maupun dunia maya.
Kasusnya hanya mendapatkan hukuman percobaan meskipun terbukti telah melanggar hukum sebagaimana yang sudah ditulis di atas tentang Kekarantinaan Kesehatan. Menaati peraturan bukan hanya menjadi kewajiban public figure, namun semua elemen masyarakat yang ada dalam lingkup peraturan tersebut dibuat. Jika hukum kekarantinaan kesehatan ini sudah pasti dibuat, maka harus ditaati oleh seluruh masyarakat Indonesia demi menjaga keselamatan bersama serta dapat menciptakan pengendalian sosial untuk masyarakat agar tidak meniru perbuatan melanggar hukum.
Namun, seperti yang kita sadari saat ini dalam realitas supremasi hukum di Indonesia saat ini sudah begitu lemah dan ringkih. Bagaimana tidak? Semakin berjalannya waktu, hukum semakin mencerminkan pepatah “tumpul ke atas runcing ke bawah”.
Banyak kasus tidak ditangani dengan adil dan berakhir memunculkan kekecewaan masyarakat terhadap keadilan di negeri ini. Jika melihat dari sekian kasus pidana, maka hukum seakan hanya melayani orang-orang yang memiliki kuasa dan lebih sering tidak menghiraukan orang-orang kecil.
Banyak kasus para petinggi atau public figure hanya diberikan hukuman yang ringan karena dinilai sopan, responsif saat persidangan, hingga alasan-alasan yang tidak masuk akal seperti mempunyai balita yang harus dirawat atau hanya karena sudah dihujat oleh warganet menjadi alasan hukuman harus diberikan “diskon” dan semua seakan dipermudah dalam pelayanan hukum. Lalu bagaimana dengan masyarakat kecil yang harus bersusah payah memperjuangkan haknya dalam mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya, namun tetap saja harus menerima kenyataan bahwa hukum saat ini hanya memihak yang “berkuasa”.
Menurut saya dalam perspektif Sosiologi, adanya fenomena hukum saat ini yang masih pandang bulu maka sejalan dengan pernyataan Karl Marx yang menyampaikan bahwa hukum tidak hanya berlaku pada fungsi politik, namun juga berlaku sebagai fungsi ekonomi yang menyebabkan konflik serta perpecahan pada masyarakat.
Realitas hukum di Indonesia saat ini tidak lagi mencerminkan ketegasan dan keadilan dengan kata lain “tumpul ke atas runcing ke bawah”. Itu berarti sejalan dengan gagasan Marx bahwa hukum tidak lagi berfungsi untuk melindungi karena hukum saat ini hanya akan melindungi kelompok mayoritas yang berkuasa. Dalam penjelasannya tentang sosiologi hukum Marx dengan realitas keadaan hukum saat ini sudah sangat kontras, hukum hanya melayani kaum berkuasa dan abai terhadap kaum bawah dengan ketidakadilan yang menyayat hati, lalu apakah ini akhir dari kisah perjalanan keadilan hukum di Indonesia ataukah sebuah awal untuk mulai berbenah dan melanjutkan perjuangan keadilan demi keberlangsungan keadilan di negeri tercinta? (*)