TRENGGALEK – Siapa tak kenal Gembong Derita Hadi. Dia adalah Ketua Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU) Trenggalek. Sebagai ketua, dialah orang pertama yang seharusnya memberikan contoh netralitas sebagai penyelenggara pemilu.
Namun agaknya, netralitas Gembong sebagai ketua KPU diduga mulai luntur. Ditengarai sejak kian maraknya masyarakat yang memperbincangkan etika dia (Gembong, Red) sebagai penyelenggara pemilu.
Praktisi politik Kabupaten Trenggalek, Murkam, menyayangkan atas apa yang menjadi perilaku Ketua KPU Trenggalek. Di sisa jabatan sekitar dua tahun ke depan, ternyata dia mulai berperilaku kontroversial belakangan. “Selama saya berkecimpung di parpol sejak 1998, juga sebagai orang yang bersinggungan di dunia politik. Dari perpolitikan di tingkat nasional atau daerah yang sudah saya kritik, ternyata baru kali ini ada kejadian kepala daerah dan ketua KPU dipasang dalam satu baliho yang sama,” jelasnya.
Manusia dikaruniai akal dan pikiran, niscaya akan memiliki persepsi yang berbeda-beda. Mempersepsikan orang merupakan hal yang wajar, entah itu persepsi yang benar atau yang salah. Asalkan tidak sampai men-judgement. “Semua orang berhak mempersepsikan orang, pendapat orang tak bisa disalahkan, selama belum men-judge,” ungkapnya.
Murkam menjelaskan, sejak sebelum memasuki Ramadan, ketua KPU secara terang-terangan mewacanakan penataan daerah pemilihan (dapil), meskipun belum didapati PKPU-nya. Selanjutnya, ada baliho yang berisi foto kepala daerah dengan ketua KPU. Tak sebatas itu, ketua KPU juga aktif bersosial media yang mengarah pada upaya pencitraan. Misalnya, berfoto dengan petani dan sebagainya. Atau bahkan, ada kanal medsos relawan Gembong.
Kembali lagi, manusia yang memiliki akal pikiran akan mempertanyakan itu. Apakah ketua KPU akan mencalonkan diri dalam kontestasi legislatif atau pilkada, atau masyarakat berpikiran tahapan pemilu sudah dimulai. “Diketahui kepala daerah juga menjabat sebagai ketua parpol. Selama ini, pasangan sebelahnya adalah Mas Syah,” ucapnya.
Murkam mengaku, ada pula orang yang menganggap keberadaan baliho itu sebagai bentuk mencuri start pemilu. “Itu menjadi semacam bargaining atau skenario yang menggiring opini, karena sebetulnya lebih elegan jika dalam baliho itu juga memasukkan foto forkopimda,” terangnya.
Dampaknya pun tak lain memicu prediksi-prediksi liar di masyarakat. Sebagaimana diketahui, sudah menjadi rahasia umum bahwa politik itu dinamis, bukan soal lawan atau kawan, melainkan sebuah kepentingan. Ibaratnya, kata Murkam, hari ini oposisi, besok bisa jadi koalisi. “Meskipun ketua bisa mewakili suatu lembaga, namun menurut analisa saya perilaku itu kurang etis (sebagai ketua KPU yang masih aktif, Red),” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Trenggalek Ahmad Rohani menanggapi jika pemasangan baliho tersebut benar merugikan masyarakat. Pihaknya mempersilakan untuk melapor ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). “Karena penyelenggara pemilu terikat kode etik, seperti tidak boleh partisan, conflict of interest, dan tidak boleh kecenderungan kepada peserta pemilu,” jelas Rokhani.
Namun dari kajian Bawaslu, sementara pemasangan baliho tersebut belum memenuhi unsur pelanggaran kode etik. “Kami mengkaji sepintas, belum mendalam, jika dianggap ada pelanggaran dari masyarakat dan peserta pemilu bisa melaporkan kepada DKPP,” ungkapnya.
DKPP memiliki kewenangan memutuskan adanya pelanggaran kode etik atau tidak. Sebab, kode etik menyangkut kepantasan (perilaku, Red). “Personal branding boleh-boleh saja, asalkan menunjukkan kinerja lembaga. Itu bagus. Tapi jika kegiatannya di luar tugas dan tupoksi, itu menjadi tanda tanya,” ujarnya.
Di sisi lain, saat Koran ini mencoba menghubungi Gembong belum ada respons, meskipun sebenarnya nada sambung telepon selulernya aktif.(tra/c1/rka)