TULUNGAGUNG – Pandemi Covid-19 membuat beberapa orang mempunyai ide untuk lebih kreatif lagi. Salah satunya adalah Ketut Iwanggono, warga Desa Bungur, Kecamatan Karangrejo, yang sejak tahun 2019 lalu getol memproduksi jam tangan dari kayu.
Dalam kesehariannya, Ketut Iwanggono sebenarnya bekerja di salah satu usaha mesin bubut atau mesin untuk mengerjakan bahan dari kayu atau logam di dekat rumahnya, yakni di Desa Bungur, Kecamatan Karangrejo. Bahkan, pekerjaan tersebut sudah dilakoninya selama belasan tahun.
Ide untuk membuat jam tangan dari kayu tersebut muncul pada sekitaran tahun 2019. Tepatnya tatkala pandemi Covid-19 mulai merebak di Tulungagung, yang dampaknya juga dirasakan Ketut karena pekerjaan sebelumnya terbilang sepi. Dengan begitu, muncullah ide kreatif untuk membuat jam tangan yang umumnya dari logam, tetapi dengan kreativitasnya, bahan kayu pun bisa menjadi jam tangan. Jam tangan dari kayu ini sudah menjadi produk dari Ketut dan diberi nama “Halwa”, jam tangan dari kayu.
“Meski mempunyai produk jam tangan dari kayu, dia tetap tidak bisa meninggalkan pekerjaan lama. Eman karena langganannya sudah banyak dan sudah banyak yang tahu,” ungkapnya.
Dia bercerita, awal terpikir untuk membuat jam dari kayu ini tatkala melihat banyaknya kayu sisa yang sudah tidak digunakan di tempat kerjanya. Lantas, Ketut pun berpikir untuk memanfaatkan kayu sisa tersebut agar dapat bermanfaat khususnya dalam segi ekonomi.
“Bahan bakunya gratis karena kayu sisa, terus untuk membuat bentuknya juga bisa memanfaatkan mesin bubut, meski harus ada tambahan sentuhan-sentuhan tangan langsung,” jelasnya.
Setelah bahan baku dan mesinnya tersedia, untuk memproduksi jam tangan dari kayu ini, Ketut hanya mengeluarkan modal untuk membeli mesin jam dan stiker guna memberi corak pada jam tangan kayunya. Namun, pemilihan mesin jam juga harus memiliki kualitas tinggi agar mampu bersaing dengan jam tangan dari logam.
Sebenarnya apabila diadu, Ketut juga optimistis kalau jam tangan dari kayunya memiliki kualitas dan ketahanan sama dengan jam tangan pada umumnya, yakni dengan bahan baku logam. Keuntungannya adalah jam tangan dari kayu ini memiliki corak dan warna khas, berbeda dengan yang lain.
Meski dari kayu, jam tangan yang diproduksinya tidak akan membekas atau melukai ketika dipakai. Itu bisa dibilang sama dengan jam tangan pada umumnya. Hanya, menurut dia, kelemahan jam tangan kayunya adalah ketika terkena air, di dalam jam tangannya akan mengembun.
“Kalau bahan kayunya menggunakan kayu jenis sono. Sebenarnya dulu pernah mencoba pakai kayu jati, tetapi kalau menggunakan kayu jati harus dilakukan proses plitur agar hasilnya maksimal. Kalau sono hanya perlu dicelupkan satu cairan kimia, hasilnya juga bagus,” jelasnya.
Dia mengatakan, jam tangan dari kayu yang diproduksinya tidak terbatas pada gender maupun usia. Artinya, siapa pun bisa memakainya mulai dari perempuan, pria, tua, maupun muda. Namun biasanya, diameter jam tangan untuk perempuan lebih kecil daripada pria.
Lantas bagaimana peluang jam tangan kayu ini? Mengenai hal itu, Ketut menjelaskan bahwa untuk pemasaran memang menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Karena selama ini, dia hanya melayani siapa saja yang pesan jam tangan kayu kepadanya dan hanya memproduksi dalam jumlah kecil. Dia belum memproduksi dalam jumlah besar.
“Kebanyakan yang beli adalah kenalan-kenalan saya saja, memang belum luas meskipun sudah cukup lama membuat produk ini. Terbanyak malah mereka yang memesan, tapi mintanya tidak ada embel-embel nama produk saya. Mungkin mau dijual lagi dengan harga yang lebih mahal dari saya,” kata dengan tertawa.
Tak menyerah, Ketut juga mulai memasarkan produknya melalui salah satu platform jual beli online agar barangnya bisa secara luas menjamah pasar. Itu didukung dengan harga yang terbilang murah. Harga satu set jam tangan dari kayu yang sudah jadi paling murah Rp 75 ribu dengan kualitas yang berani diadu di pasaran. (*/c1/din)