KOTA BLITAR – Anggapan bahwa santri di pondok pesantren (ponpes) melulu mengaji dan ibadah, ditepis Ahmad Iqbal Maulidin. Dia membuktikan, santri modern juga tetap bisa belajar wirausaha dan ilmu agama sekaligus. Bahkan, ketika masih belajar di lingkungan ponpes.
Gemercik air langsung terdengar ketika mulai masuk ke halaman Ponpes Bustanul Muta’allimin. Suasana di pelataran ponpes yang berlokasi di Kelurahan Kauman, Kepanjenkidul, itu nampak sepi. Hanya sesekali terlihat satu atau dua santri berseliweran.
Seorang pria yang mengenakan peci dan sarung itu berjalan menuju kolam ikan yang ada di sekitar teras ponpes. Sebuah wadah plastik berisi pakan ikan digenggamnya. Pria itu adalah Iqbal, salah seorang santri di Ponpes Bustanul Muta’allimin. Sore itu dimanfaatkan Iqbal untuk memberi makan ikan sebelum mulai melanjutkan aktivitas. “Yang ditaruh di kolam teras ini hanya koi indukan,” ujarnya kepada Koran ini, seraya menunjukkan akuarium berukuran jumbo yang ditempel di dinding tembok.
Melongok ke arah kolam, tampak Iqbal sedang menyebarkan pakan ke arah puluhan ikan koi dengan ukuran jumbo. Kegiatan budi daya salah satu jenis ikan hias ini sudah dilakoni sejak tiga tahun terakhir. Uniknya, ilmu budi daya koi dipelajari secara ototidak ketika masih di ponpes. “Karena di pondok ini para santri diberi fasilitas untuk melakukan kegiatan usaha. Nah, saya di bagian budi daya koi,” tutur santri ramah ini.
Tapi, koi yang dibudidaya bukan jenis sembarangan. Melainkan, jenis show alias ikan kategori kontes. Tentu dibutuhkan keahlian khusus dalam membudidaya ikan kontes ini. Sebab, ikan koi jenis ini punya kualitas dan harga yang jauh melangit dibandingkan dengan koi yang biasa.
“Ada tiga kategori koi yang dibudidaya di sini. Dari yang terendah, koi kualitas B, kualitas A, dan yang paling mahal adalah kualitas kontes. Khusus ikan kontes, dibutuhkan cara penanganan dan perawatan yang berbeda dari koi lain,” bebernya.
Hal paling mendasar, kata Iqbal, adalah bagaimana cara mencari indukan yang bagus. Lalu, selanjutnya adalah melakukan teknik keeping ikan. Indukan koi premium tidak dikawinkan dengan indukan koi reguler. Itu demi menjaga kualitas turunan yang dihasilkan. “Harus bisa kita keeping. Jadi, tidak boleh asal-asalan,” jelas warga Kelurahan/Kecamatan Garum ini.
Harga koi kualitas B hanya berkisar Rp 15-30 ribu per ekor. Lalu, harga koi kualitas A bisa mencapai angka Rp 50-150 ribu. Sedangkan, harga koi kualitas kontes terbilang sangat fantastis. Yakni, bisa menyentuh angka Rp 600 ribu sampai sekitar Rp 5 juta. “Kalau ukurannya lebih besar lagi, harganya bisa mencapai puluhan juta juga,” ungkapnya.
Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi, dia bisa memasarkan koi sampai ke berbagai wilayah di Indonesia setiap bulan. Bahkan, Iqbal pernah melakukan pengiriman ikan koi kualitas kontes hingga ke Maladewa, salah satu negara di Asia Selatan. “Itu sebelum masa pandemi. Jadi, pengiriman barang antarnegara masih dibuka waktu itu,” ungkap santri 27 tahun ini.
Kegiatan ini tentu merupakan bukti jika santri modern juga lekat dengan kegiatan ekonomi. Untuk itu, Iqbal tak pelit ilmu. Dia banyak tularkan cara budi daya ikan koi kepada para juniornya di Ponpes Bustanul Muta’allimin. Menurut dia, santri modern juga harus memiliki soft dan hard skill di berbagai bidang. “Yang utama tetap ilmu agama. Tapi, di sini kita juga harus belajar ilmu lain. Baik itu ilmu ekonomi atau sosial,” terangnya. (*/c1/ady)