TULUNGAGUNG – Atas dasar rasa kemanusian, Doni Anjar Rudini berniat untuk sukarela menjaga perlintasan kereta api sebidang di Desa Ketanon, Kecamatan Kedungwaru. Selama kurang lebih 6 jam, dia menjaga kendaraan bermotor agar selamat melintasi perlintasan kereta sebidang tersebut. Tak sedikit pengendara yang melintas memberikan Doni, sapaan pria itu, upah atas bantuan yang diberikannya.
Menjaga perlintasan kereta sebidang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Doni Anjar Rudini. Pria yang bertempat tinggal di Desa Ketanon tersebut memilih untuk menjaga perlintasan kereta sebidang sejak 2012 lantaran rasa kemanusiaan. Selama 6 jam per hari, dia membantu kendaraan bermotor saat melintasi perlintasan kereta.
Doni mengatakan, menjaga perlintasan kereta api sebidang di desa itu sudah sejak 2012 lalu. Beralasan dari rasa kemanusiaan, membuatnya betah melakoni pekerjaan secara sukarela bertahun-tahun. Kemarin mendapatkan giliran jaga mulai dari pukul 16.00-22.00 WIB. “Di sini itu yang jaga ada 4, Mas. Saya biasanya jaga sekitar 6 jam per hari. Ya sukarela saja, selama ini kalau ada yang ngasih diterima, kalau tidak tidak ya apa-apa, namanya sukarela,” jelasnya kemarin (25/9).
Pria berusia 50 tahun mengaku, sebelum dibangunnya palang pintu kereta api pada perlintasan tersebut, kondisi perlintasan gelap dan hanya diterangi lampu jalan. Kemudian, saat siang hari, terik matahari langsung menyengat tubuhnya lantaran tidak ada tempat berteduh. “Wah, dulu itu sebelum dibangun palang pintu ini rekoso banget, Mas. Kalau siang panas dan malam gelap karena penerangannya hanya dari lampu jalan itu,” ucapnya sembari menunjuk lampu jalan yang berada di ujung.
Setelah terjadinya kecelakaan maut, pembangunan pada perlintasan kereta api pun mulai gencar. Mulai dari pos, palang pintu, dan peralatan keselamatan lainnya tak luput dari pembangunan. Hal itu mempermudahnya dalam menjaga perlintasan kereta. “Dulu itu karena kejadiannya (kecelakaan bus dan kereta api) Subuh, makanya pas belum ada yang menjaga. Setelah ada pembangunan seperti ini, semakin mempermudah kita dalam berjaga. Tidak ada pengalaman mistis, biasa-biasa saja,” ungkapnya.
Lanjut dia, sebagai penjaga perlintasan kereta api sukarela, penghasilannya hanya bergantung pada pemberian pengguna perlintasan tersebut. Penghasilannya dalam menjaga perlintasan kereta api sekitar Rp 500 ribu per bulan. Itu pun tergantung pada pemberian dari pengguna jalan. “Biasanya itu yang ngasih kadang-kadang mobil pikap atau mobil roda empat lainnya, kalau roda dua itu jarang-jarang, tapi tetap ada saja,” paparnya.
Dia menambahkan, semenjak adanya pembangunan palang pintu, penghasilannya menurun. Namun, hal itu tidak menjadikan semangatnya dalam menjaga perlintasan tersebut kendur. Dari awal, dia memutuskan untuk menjaga perlintasan kereta api tersebut bukan kerana uang. “Awalnya dulu bukan karena uang, jadi harus sadar dengan niat awalnya. Sebelum pembangunan itu, sehari paling tidak dapat sekitar Rp 20 ribu, kalau sekarang sudah berkurang,” tutupnya. (*/c1/din)