TULUNGAGUNG – Banyak yang tidak mengetahui jika sebagian dinding jalanan di Tulungagung dihias dengan grafiti, seni jalanan yang khas dengan font berbagai gaya. Masyarakat awam di Kota Marmer mengira semua gambar di jalanan tersebut merupakan mural. Padahal, dua street art ini berbeda prinsip dan alat.
“Saya sejak SMP mengenal grafiti, menggambar nama sendiri dan memang berbeda dengan mural yang berisi pesan dan kritikan. Bahkan grafiti identik memakai cat semprot dalam pembuatannya, sedangkan mural pakai cat tembok,” ujar seniman senior grafiti Tulungagung, Ferry Hardiyantoyo.
Bagi Fery, grafiti lebih menarik dari sisi lettering atau gambar tulisan yang tidak dimiliki oleh seni jalanan lain. Menariknya, awalnya laki-laki 30 tahun ini tidak bisa menggambar sama sekali. Namun ketertarikannya dengan grafiti membuatnya penasaran, dan mulai belajar dari seniman senior. Hingga pernah membuat suatu komunitas grafiti saat masih aktif berkegiatan di Surabaya. Ferry memang besar di Kota Pahlawan, namun lahir di kabupaten ini.
Bahkan, dia memutuskan pulang kampung ke Tulungagung sejak 2017 untuk hidup bersama ibunya. Keluarganya mendukung hobi yang dilakukan oleh Fery ini, meskipun dia mengaku pernah dikejar-kejar polisi saat menggambar di beberapa dinding di Surabaya. Bahkan dua kali tertangkap dari kejaran polisi, hingga diinterogasi di pos dan polsek karena sering beraksi tengah malam dan menimbulkan tindakan kecurigaan.
Beruntung tidak sampai ditahan, hanya sekadar ditanya tujuan menggambar dan perizinan dalam beberapa jam. Itu diakuinya merupakan salah satu pengalaman yang kurang menyenangkan dalam berkarya. “Jadi dulu menggambar saat malam hari, lalu melihat ada mobil lampu kelap-kelip, langsung kabur. Setelah kejadian, saya dan teman-teman tertangkap. Ya, saya tidak berani lagi untuk menggambar saat malam hari, kapok saya,” kenangnya.
Sejak 2009 hingga 2017 karya-karya grafiti dari Fery tersebar di sudut-sudut dinding jalanan Kota Surabaya. Mungkin hingga kini masih tersisa, kecuali dihapus oleh seniman baru atau aparat setempat untuk penertiban. Ketika dia pulang ke Tulungagung baru sempat berkarya tahun 2021 lalu, itu saja diajak teman-teman saat ada acara. Akhir tahun kemarin Ferry ikut acara bertajuk biennale Jatim, yang beraksi pada dinding di Desa/Kecamatan Campurdarat. Selain itu, hampir tiap minggu dia selalu menyempatkan untuk menggambar di tempat yang berada di dekat rumahnya.