TULUNGAGUNG – Hanya dengan modal Rp 300 ribu dari uang arisan saat SMA, Siti Endang Sunarsih mampu memanfaatkannya untuk membuka usaha buket sampai memiliki outlet sendiri. Bahkan, kini dia melayani 50 lebih pesanan buket setiap bulannya, meski sempat tidak didukung oleh orang tua dan terkena dampak pandemi Covid-19.
Siti Endang Sunarsih memulai usaha buket pada saat duduk di bangku kelas XII sekolah menengah atas (SMA) kisaran akhir tahun 2018. Tak banyak modal awal yang dikeluarkan kala itu, yakni hanya Rp 300 ribu dari motel arisan yang diikutinya.
“Uang motel arisan saya manfaatkan untuk membeli bahan membuat buket pada awal memulai usaha,” ungkap Endang, sapaan akrab gadis asal Desa Jabalsari, Kecamatan Sumbergempol tersebut.
Selain bekal uang, Endang mengaku bahwa yang berperan besar adalah kesukaannya pada kerajinan. Khusus membuat buket, juga tak perlu belajar atau les ke orang lain dan hanya mengandalkan video dari YouTube untuk dijadikan bahan belajar. Pemasaran awalnya juga hanya mengandalkan teman dari teman, meski diakui itu juga menjadi hal berat yang dilalui pada awal memulai usaha.
“Halangannya juga pada restu orang tua waktu itu, karena membuat buket pasti diperlukan banyak bahan dan membuat rumah berantakan. Biasanya kalau rumah berantakan pasti dimarahi sama orang tua,” katanya dengan tertawa.
Strategi awal, Endang memilih membuat sampel yang ready stock untuk ditawarkan kepada masyarakat. Namun, berjalannya waktu, selain ready stock juga menerima pesanan buket dengan bentuk, ukuran, dan bahan apa saja sesuai dengan permintaan. Bahkan, kini gadis yang masih menginjak usia 22 tahun ini juga telah memiliki outlet sendiri di depan rumahnya yang digunakan untuk memajang kreasi-kreasi buketnya. “Selain menerima pesanan, kalau ada yang mampir ke outlet dan mau membeli buket juga bisa,” ujarnya.
Hal lain yang diterapkan adalah untuk pemilihan harga yang cenderung ramah di kantong. Karena diakuinya, apabila harganya miring dan kualitas dari produknya bagus maka akan diminati oleh pasaran. Karena itu, dia memanfaatkan betul bahan baku agar tidak terbuang percuma untuk menekan biaya produksi. Dalam usahanya, Endang membandrol buket yang dibuat mulai dari Rp 25 ribu sampai maksimal pernah membuat buket dengan harga Rp 3 juta.
“Perbedaan harga ditentukan oleh jenis buket, bahan baku, ukuran, sampai tingkat kesulitan dan lain lain. Tapi kalau murah itu bisa menjangkau semua kalangan masyarakat,” terangnya.
Menurut dia, menjadi pengusaha buket juga harus terus melakukan inovasi. Karena selera buket masyarakat dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan sehingga juga dituntut serba bisa dan mengikuti tren. Seperti dulu pernah membuat buket sandal yang pernah tren, tapi kini juga mulai redup. Juga bahan buket bunga yang dulu kebanyakan dari kain flanel, kini mayoritas berubah menjadi bunga artifisial dan bunga segar yang otomatis tidak memiliki daya tahan lama. Biasanya hanya bertahan selama tiga hari.
“Banyak pesanan juga buket-buket model baru. Harus banyak belajar menyesuaikan selera pasar yang terus berubah,” katanya.
Gadis kelahiran tahun 2000 ini mengatakan, saat ini pesanan yang sering digarap adalah dari Tulungagung dan Trenggalek. Namun, kadang juga merambah selain dari dua daerah tersebut. Karena menurutnya, pemasaran yang dilakoni juga melalui beberapa media sosial dan platform jual beli online.
“Pengiriman buket ke luar kota biasanya memakai kardus karena menghindari kerusakan,” katanya.
Dia bercerita, memasuki masa pagebluk kemarin, usahanya juga tak luput dari sasaran. Karena pesanan buket yang datang sangatlah sepi kala itu. Namun, setelah pagebluk melandai, penjualan buket berangsur membaik. Apalagi tatkala terdapat event yang membutuhkan buket seperti pada saat musim wisuda, hari guru, hari ibu, dan lainnya.
“Dalam satu bulan kalau ramai bisa mencapai 50 bahkan lebih pesanan buket. Mulai dari buket untuk ulang tahun, nikah, dan yang lainnya,” ungkapnya.
Meskipun kadang kewalahan menggarap pesanan, tapi sampai kini Endang belum memiliki karyawan dan dalam usahanya dibantu oleh keluarganya sendiri. “Kadang kalau ramai rasanya butuh karyawan, tapi kalau buket kan kadang ramai kadang sepi. Kalau sepi ya bingung,” tutupnya dengan tertawa. (mg1/c1/din)