KOTA, Radar Trenggalek – Kasus dugaan pelecehan seksual menyimpang yang dialami beberapa murid SD di Kecamatan Bendungan, berdampak serius terhadap kesehatan mental para korban. Berdasarkan hasil penelusuran hingga pendampingan korban dari tenaga psikolog, Dinas Sosial Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Trenggalek menemukan bahwa para korban terindikasi menunjukkan gejala perubahan perilaku.
Plt Kepala Dinsos P3A Trenggalek dr Ratna Sulistyowati menjelaskan, tim telah mengonfirmasi pihak-pihak yang bersangkutan setelah mencuatnya dugaan kasus pelecehan seksual menyimpang (sodomi, Red) terhadap korban anak-anak. “Kami sudah melakukan pendampingan menemui anaknya, kemudian bertemu dengan pihak sekolah untuk memverifikasi apakah berita itu benar? Dan ternyata benar,” kata Ratna, saat dikonfirmasi awak media.
Setelah terkonfirmasi itu, kata dia, dinsos P3A berupaya untuk menjalankan tugas sesuai dengan tugas dan fungsi (tusi). Di antaranya, melibatkan tenaga psikolog untuk menggali informasi lebih dalam kepada para korban dan melaksanakan pendampingan. “Hasil dari penelusuran dan pendampingan dari tenaga psikolog kami, itu ternyata 5 anak mengakui ada pelecehan seksual menyimpang. Pengakuan korban, itu terjadi berkali-kali dan tidak ada yang satu kali,” tegasnya. Dari hasil penelusuran dari tenaga psikolog juga, menurut Ratna, beberapa korban sudah menunjukkan gejala perubahan perilaku. “Ada yang suka marah-marah. Kasus ini terbongkar ketika orang tua heran kenapa anak menjadi berbeda. Suka marah-marah, padahal dulunya nggak seperti ini. Kemudian, dia (korban) cerita bahwa dia mendapat perlakukan seperti itu (pelecehan seksual, Red),” ujarnya. Selain gejala marah-marah, wanita berhijab itu mengaku ada korban yang mulai mengakses video porno dan hal itu sangat membahayakan. “Kecanduan seksual pada anak itu jauh lebih parah daripada kecanduan narkoba,” tegasnya.
Dengan peristiwa itu, dinsos P3A memastikan bahwa bagaimana pun anak adalah korban. Karena itu, mereka akan mendapatkan pendampingan kesehatan mental dan pendampingan dalam proses hukum. “Pasti, kami persiapkan pendampingan ketika proses penyidikan agar mereka mendapat perlakuan sesuai dengan hak anak,” ucapnya. Di sisi lain, pendampingan dinsos P3A tak sebatas bagi korban. Ratna menyebut pendampingan itu mengarah pada komunitas di sekitar korban yang meliputi keluarga, lingkungan, sekolah, dan sebagainya. “Di satu sisi, kita gencar mencegah pernikahan anak. Tapi kalau kasus ini saja tidak kita bentengi dengan baik, upaya yang kita lakukan itu akan sia-sia,” pungkasnya. (tra/c1/rka)