KOTA BLITAR – Dari sekian banyak cabang seni rupa, Wawan Susanto memilih untuk menekuni seni lukis pelepah pisang alias debog. Tujuh tahun bergelut dengan seni unik ini, tak jarang menerima pandangan negatif.
Bingkai lukisan berwarna cokelat itu dipegang dengan erat. Pengait kawat yang berada di bagian atas bingkai dilepaskan. Tampaklah lukisan yang menggambarkan potret yang tak asing. Yakni presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno.
Sekilas, lukisan itu sama halnya dengan lukisan karya perupa pada umumnya. Yakni, bermediakan kanvas, cat akrilik, dan kuas. Ternyata, setelah dilihat lebih teliti, lukisan sosok Soekarno itu terbuat dari media pelepah pisang, atau debog.
“Sudah hampir tujuh tahun saya menekuni seni rupa dari debog. Awalnya hanya karena iseng. Waktu itu, musim kemarau. Di sekitar rumah banyak pohon pisang kering. Ya saya potong dan dibuat lukisan,” ujar Wawan Susanto, kepada Koran ini di kompleks Perpustakaan Proklamator Bung Karno kemarin.
Tanpa disangka, karyanya mendapat apresiasi positif dari sejumlah pelanggan. Itu membuatnya kian getol mencari pelepah pisang kering di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Dibutuhkan ketelitian ekstra untuk merampungkan satu karya. Tingkat kesulitan tergantung pada ukuran. “Karena responnya bagus, jadi keterusan. Satu lukisan butuh waktu satu sampai dua pekan,” jelas warga Kelurahan/Kecamatan Sukorejo ini.
Tidak terhitung berapa jumlah karya yang telah diproduksi dalam tujuh tahun terakhir. Memang, pesanan tak melulu datang setiap harinya. Tapi, itu tidak membuatnya menjadi malas untuk terus bereksperimen dan menghasilkan karya. “Ada atau tidak ada pesanan, saya selalu bikin. Sebulan bisa membuat dua sampai tiga lukisan,” tutur bapak tiga anak ini.
Soal harga, pria berkacamata ini tidak ingin mematok terlalu tinggi. Untuk satu lukisan debog bervariasi, mulai dari Rp 200 ribu hingga mencapai angka Rp 2,5 juta. Tentu ini terbilang menjanjikan, mengingat pelepah pisang merupakan bahan yang mudah dijumpai. “Dan itu bernilai cukup tinggi. Tapi belum banyak seniman debog. Bahkan, saya adalah seniman debog pertama se-eks Karisidenan Kediri,” bebernya.
Tapi, semua ini tidak didapatkan dengan gampang. Karena ketika awal berkarya, ada saja beberapa pihak yang memandang sebelah mata. Bahkan, enggan mengakui lukisan debog sebagai salah satu karya lukis. Itu membuatnya sempat kurang pede saat disandingkan dengan beberapa pengkarya hebat di Buni Bung Karno. “Kalau sekarang, pesanan datang dari seluruh daerah dan luar pulau. Mulai dari Tulungagung, Jakarta, Surabaya, Bondowoso, Bengkulu, hingga Kalimantan. Ini sebagai pembuktian bahwa ini juga merupakan karya seni. Dan banyak diburu oleh penikmat seni,” terangnya.
Meski sempat menerima tudingan negatif, pria 50 tahun ini bersyukur karyanya tetap memiliki tempat di hati para kolektif seni lukis. Dia berharap, agar nanti karyanya bisa menembus pasar mancanegara. Pesanan cinderamata dari pelanggan lokal yang bermaksud memberi bingkisan khusus bagi kerabat di luar negeri. “Iya. Semoga karya seni debog ini bisa diterima, harapan saya bisa tembus pasar internasional,” harapnya. (*/ady)